SOLOPOS.COM - Meme Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga (MK). (www.instagram.com/pbhi_nasional)

Solopos.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai mempromosikan constitutional evil atau kejahatan konstitusional usai putusan dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum. 

Sebagai informasi, MK mengabulkan sebagian uji materi batas usia capres dan cawapres. Putusan MK tersebut memungkinkan kepada orang yang berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah maju sebagai capres dan cawapres. 

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyampaikan dikabulkannya permohonan uji materiil mengenai penetapan batas usia calon presiden dan wakil presiden paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, telah menegaskan inkonsistensi MK dalam menegakkan Konstitusi RI.  

Menurutnya, MK telah melampaui batas kewenangannya dan telah mengambil alih peran DPR dan Presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi. 

Pasalnya, dengan putusan menerima dan mengubah bunyi Pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator.

“MK yang mengklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional [constitutional evil],” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Solopos.com, Selasa (17/10/2023). 

Hendardi menambahkan, jika dengan putusan tersebut Gibran Rakabuming Raka melenggang ke bursa Pilpres, tidak perlu analisis rumit untuk mengatakan bahwa putusan MK memang ditujukan untuk mempermudah anak Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinan sang ayah dan meneguhkan dinasti Jokowi dalam perpolitikan Indonesia. 

Lebih jauh, dia menyatakan di luar soal kontestasi Pilpres, MK yang sebelumnya menjadi pembeda antara rezim Orde Baru dan rezim demokrasi konstitusional pasca Orde Baru, saat ini hampir tidak ada bedanya. Ini karena dia menilai para hakim mempromosikan apa yang disebut judisialisasi politik otoritarianisme.  

“Jika dahulu otoritarianisme diperagakan secara langsung, maka saat ini otoritarianisme dipermak melalui badan peradilan menjadi seolah-seolah demokratis padahal yang dituju adalah kehendak berkuasa dengan segala cara,” ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya