SOLOPOS.COM - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra seusai Sidang Pleno Khusus MK untuk Pengucapan Sumpah Ketua dan Wakil Ketua MK masa jabatan 2023-2028 di Gedung MK, Jakarta, Senin (20/3/2023). Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Saldi Isra sah ditetapkan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi masa jabatan 2023 hingga 2028. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

Solopos.com, JAKARTA — Hakim konstitusi Saldi Isra mengungkap sejumlah keanehan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan syarat calon presiden/wakil presiden pernah menjadi kepala daerah, Senin (16/10/2023).

Menurut Saldi Isra, beberapa hakim konstitusi berubah pendapat begitu cepat dalam pembahasan tentang gugatan perkara 90/PUU-XXI/2023 soal batasan usia capres-cawapres tersebut.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Perubahan pendapat sebagian hakim konstitusi itu terjadi setelah Ketua MK yang juga adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman hadir di rapat.

Sebagai informasi, Saldi Isra merupakan satu dari empat hakim MK yang berbeda pendapat (dissenting opinion) terkait keputusan yang membuat kepala daerah berusia di bawah 40 tahun menjadi capres/cawapres.

Ketika menjelaskan pendapatnya dalam rapat pleno di Gedung MK RI, Jakarta Utara, Senin (16/10/2023), sebagaimana ditayangkan KompasTV, Saldi menyebut ada peristiwa yang aneh dan luar biasa.

Menurutnya, para hakim konstitusi berubah pendapat dengan begitu cepat.

“Dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ujar Saldi yang menjabat Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2023-2028.

Saldi memaparkan, pada 19 September 2023 para hakim konstitusi menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tanpa kehadiran Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi.

Dikatakan dia, ketidakhadiran Anwar Usman untuk menghindari konflik kepentingan.

Dia menjelaskan, enam hakim konstitusi sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka yang harus diatur pembentuk undang-undang, dalam hal ini adalah DPR dan pemerintah.

Ketika itu, dua hakim konstitusi memilih berbeda pendapat.

Namun pendapat beberapa hakim konstitusi itu berubah saat Anwar Usman hadir pada RPH berikutnya.

“[Mereka] menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal meski model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka,” ungkapnya.

Menurut Saldi, berubahnya pendapat beberapa hakim konstitusi memicu pembahasan yang lebih rinci hingga membuat RPH ditunda dan diulang beberapa kali.

Pemohon sempat menarik kembali permohonannya meski akhirnya dibatalkan lagi.

“Terlepas dari misteri yang menyelimuti penarikan dan pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian hakim konstitusi yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXX1/2023,” ujar Saldi.

“Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel sebagian,” kata Saldi Isra yang menjadi hakim konstitusi sejak 11 April 2017 itu.

Keanehan lainnya, menurut Saldi Isra, sebagian hakim yang tergabung dalam gerbong ‘mengabulkan sebagian’ mendesak proses pembahasan dipercepat.

Terang-terangan ia mengkhawatirkan putusan MK soal syarat capres/cawapres ini akan menjadi preseden buruk bagi lembaga negara tersebut ke depan.

“Yang bersangkutan terus mendorong dan terkesan terlalu bernafsu untuk cepat-cepat memutus perkara a quo. Saya sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions [pertanyaan politik], yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” tutup hakim berusia 55 tahun ini.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.

Mahkamah mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Solo, Jawa Tengah.

Ia memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya