SOLOPOS.COM - Kantor Staf Presiden bersama BP Tapera, Kementerian Keuangan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian PUPR, dan Otortas Jasa Keuangan, menyampaikan beberapa hal terkait dengan Tapera dalam konferensi pers tentang Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), di gedung Bina Graha Jakarta, Sabtu (1/6/2024). (Istimewa)

Solopos.com, JAKARTA – Pemerintah mengakui sosialisasi tentang Tapera belum dilakukan dengan baik. Menyikapi berbagai tanggapan dari masyarakat dan sejumlah pemangku kepentingan, pemerintah melakukan beberapa evaluasi.

Kantor Staf Presiden bersama BP Tapera, Kementerian Keuangan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian PUPR, dan Otortas Jasa Keuangan, menyampaikan beberapa hal terkait dengan Tapera dalam konferensi pers tentang Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), di gedung Bina Graha Jakarta, Sabtu (1/6/2024).

Promosi Didukung BRInita, Dasawisma Pisang Palembang Sulap TPS Liar Jadi Urban Farming

Hadir pada konferensi pers, Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, Dirjen PHI & Jamsos Kementerian Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, Direktur Sistem Manajemen Investasi Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keangan, Saiful Islam, dan Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jasmi.

Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menyatakan Pemerintah memahami kekhawatiran dan kegelisahan masyarakat. Banyak yang marah karena kurang mengerti.

“Kenapa kurang mengerti? Karena memang sosialisasi mengenai program Tapera belum dilakukan dengan baik. Ini evaluasi internal kami di pemerintah,” kata Moeldoko dalam keterangan resmi yang diterima Solopos.com Sabtu (1/6/2024).

Ia menjelaskan sejak periode pertama, Presiden Jokowi melakukan reformasi pada sistem jaminan kesejahteraan sosial nasional, seperti BPJS Kesehatan, BPJS Naker, KIP, PKH, dan juga Tapera. Ini adalah bentuk negara hadir untuk memastikan hak-hak warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang layak, baik pangan, sandang, dan juga papan. Ini merupakan amanat Undang-undang yang sudah disepakati pemerintah dan legislatif. Dasar hukum Undang-undang No.1 tahun 2011 tentang perumahan dan Kawasan pemukiman, serta Undang-undang No.4 tahun 2016 Tentang Tabungan perumahan rakyat.

Tapera, lanjut dia, sebagai kelanjutan dari Bapertarum yang hanya untuk Aparatur Sipil Negera (ASN). Tapera kemudian diperluas untuk juga membantu pekerja swasta dan mandiri mendapatkan hunian. Problem backlog perumahan memang nyata terjadi, jumlahnya masih 9,9 juta.

Kondisi ini diperkirakan akan semakin besar karena rata-rata harga properti per tahun naik 10% -15%, sementara kenaikan gaji pekerja tidak linier dengan kenaikan harga properti. Bahayanya rumah makin tidak terjangkau. Sehingga pemerintah harus memikirkan cara bagaimana memenuhi kebutuhan mendasar Masyarakat.

“Beri kesempatan pemerintah untuk bekerja memikirkan cara yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan rumah rakyat. Ke depan pemerintah akan menggencarkan komunikasi dan dialog dengan masyarakat dan dunia usaha. Masih ada waktu untuk batas waktu pemberlakuan bagi pekerja swasta sampai tahun 2027. Selain itu, juga membangun sistem pengawasan pengelolaan keuangan untuk menjamin dana dikelola dengan baik, akuntabel, dan transparan,” papar Moeldoko.

Pengawasan salah satunya melalui Komite Tapera yang akan melakukan pengawasan pengelolaan Tapera. Ketuanya adalah Menteri PUPR dengan anggota Menkeu, Menaker, Komisioner OJK, dan profesional. Dari komposisi ini artinya masing-masing menteri dan lembaga akan mengawasi pengelolaan Tapera sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, juga menjelaskan tentang manfaat yang akan diterima oleh masing-masing kelas sosial masyarakat, mulai dari pekerja penghasilan rendah, kelas menengah, hingga kelas atas. Mengacu pada Indeks Keterjangkauan Residensial, harga rumah dikategorikan terjangkau apabila tidak lebih dari tiga kali penghasilan rumah tangga dalam setahun, atau maksimal di indeks 3.

Kondisi saat ini pada 12 provinsi di Indonesia, masyarakat masih sangat sulit untuk menjangkau kepemilikan hunian dengan harga yang terjangkau dengan kemampuan penghasilan mereka bahkan di beberapa provinsi dengan populasi tinggi seperti di Jawa dan Bali angkanya di atas 5 atau sangat tidak terjangkau.

Permasalahan ini terjadi di hampir semua segmen baik Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), kelas menengah dan pekerja kelas atas. Nah, di sini Tapera hadir untuk meningkatkan kemampuan (affordability) masyarakat untuk menjangkau harga rumah tersebut, melalui penurunan suku bunga yang pada akhirnya menurunkan besaran angsuran bulanan peserta.

Menurut perhitungan pemerintah, terdapat selisih angsuran sebesar sekitar Rp1 juta/bulan jika mengambil rumah di harga Rp300 juta. Jika KPR komersial angsurannya Rp3,1 juta/bulan, kalau KPR Tapera bisa Rp2,1 juta/bulan (include tabungan). Jadi lebih hemat sekitar Rp1 juta/bulan- yang dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga bulanan. Ditambah lagi di akhir masa kepesertaan masih akan memperoleh pengembalian tabungan dan hasil pengembanganya.

Untuk meningkatkan layanan pengembalian tabungan peserta, diimbau kepada seluruh ASN dan pemberi kerja untuk melakukan updating data melalui portal kepesertaan di website Tapera (www.sitara.tapera.go.id).

Tentang kepesertaan (wajib atau tidak), mekanisme pembagian beban iuran, pengelolaan dana, dan penyalurannya, Heru menjelaskan jika dilihat dari ketentuan UU Nomor 4 Tahun 2016, tidak semua pekerja diwajibkan menjadi peserta Tapera. Hanya yang pendapatannya lebih dari upah minimum.

“Oleh karena itu, dalam memperhitungkan target kepesertaan kami melakukan benchmark kepesertaan ke lembaga existing seperti Taspen untuk ASN dan di BPJS-TK untuk segmen Swasta dan Pekerja Mandiri,” kata dia.

Sesuai dengan model bisnis Tapera, dana tersebut dialokasikan pada 3 (tiga) jenis alokasi. Pertama, dana Cadangan (3%-5%), di mana alokasi ini diperuntukan untuk penyediaan likuiditas pembayaran bagi peserta yang akan berakhir Masa Kepesertaannya (pengembalian tabungan peserta). Dana Cadangan hanya bisa ditempatkan dalam bentuk deposito.

Kedua, Dana Pemupukan (Investasi) (45%-49%). Alokasi ini diperuntukan untuk meningkatkan imbal hasil peserta. Dana Penumpukan ini ditempatkan kepada produk investasi yang disebut Kontrak Investasi Kolektif Pemupukan Dana Tapera yang dikelola oleh Manajer Investasi yang ditunjuk oleh BP Tapera.

Ketiga, Dana Pemanfaatan (pembiayaan perumahan) (48%-50%). Alokasi ini diperuntukan untuk dana pembiayaan perumahan peserta Tapera melalui lembaga keuangan. Kebijakan alokasi ini bersifat dinamis menyesuaikan dengan maturity profile dari dana peserta dan sustainability pembiayaan yang berkelanjutan

Simulasi pembiayaan melalui Tapera

Heru menjelakan simulasi pembiayaan melalui Tapera sebagai berikut:

Rumah Susun
Simulasi atas pekerja mandiri dengan pendapatan Rp6 juta/ bulan yang mengambil KPR Satuan Rumah Susun dengan harga Rp300 juta. Jangka waktu pinjaman 20 tahun, suku bunga 5% maka angsuran dan tabungannya Rp2,1 juta/bulan atau lebih hemat sekitar hampir Rp1 juta per bulan dibandingkan dengan KPR komersial.

Rumah Tapak
Simulasi atas pekerja mandiri dengan pendapatan Rp4 juta/ bulan yang mengambil KPR Rumah Tapak dengan harga Rp175 juta. Jangka waktu pinjaman 20 tahun, suku bunga 5% maka angsuran dan tabungannya Rp1,26 juta/bulan atau lebih hemat sekitar Rp500.000 per bulan dibandingkan dengan KPR komersial.

Terkati dengan pekerja yang tidak membutuhkan pendanaan dari Tapera, namun juga diwajibkan untuk bayar iuran, Heru menjelaskan bagi pekerja yang tidak membutuhkan pendanaan dari Tapera akan mendapat manfaat berupa pengembalian tabungan dan imbal hasil pada saat masa kepesertaannya berakhir dengan tingkat imbal hasil di atas rata-rata tingkat suku bunga deposito Bank Pemerintah 1 tahun.

Ia mengatakan saat ini tengah dikembangkan perluasan manfaat lainnya bagi para Peserta Penabung Mulia untuk meningkatkan benefit dalam Kepesertaan Program Tapera. “Kami akan terus membuka ruang dialog publik, untuk menerima masukan semua pihak, terkait bentuk manfaat lain diluar pembiayaan perumahan.”

Pentingnya penabung mulia untuk bergabung dalam kepesertaan Tapera adalah terkait dengan kepastian waktu bagi MBR dapat memperoleh Rumah. Semakin banyak partisipasi penabung mulia akan memperpendek waktu menunggu Peserta MBR untuk mendapatkan pembiayaan Rumah Tapera. Sementara, penerapan pungutan Tapera menunggu penetapan regulasi teknis yang diperlukan untuk mengatur besaran simpanan.

Heru juga menjawab tentang perbedaan antara Tapera dan FLPP. Dari sisi mekanisme pembiayaan produk FLPP dan Tapera relatif sama, memberikan likuiditas ke perbankan untuk menekan suku bunga KPR pada level rendah di bawah pasar.

Namun, perbedaan utamanya adalahd ari sisi penerima manfaat, FLPP diperuntukkan MBR sedangkan KPR Tapera diperuntukkan untuk Peserta Tapera MBR. Dari sisi sumber dana, FLPP berasal dari APBN, sedangkan dana Tapera berasal dari Dana Simpanan Peserta. Ke depan kedua program ini dapat disinergikan dengan joint financing dalam rangka Single Housing Program. Ke depan, BP Tapera juga akan mengupayakan alternatif sumber dana lain seperti dana wakaf, dana filantropi, dan CSR dan dana lainnya.

Dari sisi fitur, kata Heru, suku bunganya sama. Untuk jangka waktu KPR Tapera jangka waktu 30 tahun (Tapak), 35 tahun (Rusun), KPR FLPP 20 tahun (Tapak dan Rusun), kemudian uang Muka untuk KPR Tapera 0% sedangkan KPR FLPP 1%. FLPP mendapatkan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), sementara KPR Tapera saat ini tidak mendapatkan.

Dirjen PHI & Jamsos Kemnaker RI, Indah Anggoro Putri, menambahkan, terkait pungutan bagi pekerja non-ASN/TNI/Polri sebagaimana PP 21/2024 dapat dilihat di Pasal 15, nanti akan diatur dalam suatu peraturan setingkat Menteri. Menteri yang melaksanakan urusan pemerintah di bidang ketenagakerjaan.

“Jadi nanti akan diatur dalam Peraturan Menteri tersebut dan durasinya masih 2027. Terbitnya PP 21/2024 tidak semata-mata langsung memotong gaji/upah para pekerja non-ASN/TNI/Polri karena nanti potongannya, mekanismenya akan diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan,” kata Indah.

Ia mengatakan berbagai tanggapan yang muncul dari masyarakat adalah suatu masukan refleksi bagi pemerintah karena kurang melakukan sosialisasi atau informasi yang lebih masif mengenai Tapera, khususnya kehadiran dari PP 21 Tahun 2024.

“Terkait dengan isu penolakan, kami pemerintah belum mengenalkan dengan baik, belum menyosialisasi masif. Jadi wajar kalau teman-teman pekerja belum tahu. Kami akan segera melakukan sosialisasi, public hearing secara masif. Kami juga terbuka mendengar masukan-masukan dari teman-teman stakeholders ketenagakerjaan. Kita akan terus melakukan diskusi secara intensif dan sekali lagi ini masih sampai 2027. Tidak perlu khawatir, karena belum ada di manapun pemotongan gaji/upah pekerja non-ASN/TNI/Polri,” ujar Indah.



Fasilitas Kesejahteraan Pekerja

Soal isu bahwa Tapera membebani para pekerja, Indah mengatakan sebenarnya kalau melihat di Undang-undang Ketenagakerjaan, UU 13/2003, pasal 100, bahwa pekerja itu berhak mendapatkan fasilitas kesejahteraan pekerja.

“Ini amanat UU 13. Dan ini menjadi beban bersama. Bahkan pemberi kerja pun, pengusaha, juga wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan pekerja. Apa saja kesejahteraan pekerja? Termasuk di dalamnya ini adalah rumah bagi pekerja,” jelas dia.

Tapera, lanjut Indah, adalah dari UU 4/2016 itu sudah sangat harmoni dengan UU ketenagakerjaan, yaitu menyediakan perumahan bagi para pekerja.

“Apalagi masih banyak sekali saudara-saudara kita yang belum memiliki rumah. Tapera ini bukan iuran, ini adalah Tabungan, dan berlaku bagi pekerja dengan gaji/upah di atas Upah minimum, dengan komposisi hitung-hitungan yang cermat. Sebenarnya ini tidak memberatkan,” papar dia.

Tapera bukan hanya untuk memiliki rumah. Bagi pekerja/buruh yang sudah memiliki rumah, maka jika dia peserta tapera uangnya bisa diambil secara cash ketika masa pensiun, atau ketika sudah tidak mau menjadi peserta Tapera.

“Dan ekspresi yang disampaikan oleh teman-teman di media bahwa gaji miris di bawah upah minimum, itu kan tidak termasuk di dalam cakupan kepesertaan Tapera. Mereka di-exclude-kan. Jadi sekali lagi ini hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang upahnya di atas Upah Minimum Provinsi maupun di atas Upah Minimum kabupaten/kota,” kata Indah.

Terkait mekanisme pemotongan gaji atau upah, nanti akan diatur mekanismenya secara teknis den detail dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. “Terbitnya kapan? Selama-lamanya 2027 kalau amanat PP. Jadi bukan sekarang.”

Ia juga menjelaskan alasan masih ada Tapera di saat di BPJS Ketenagakerjaan juga sudah ada MLT. Tapera sudah ada di UU 4/2016, berbeda sifat dan mekanismenya. Sedangkan MLT, manfaat layanan tambahan dari JHT. “Jadi kalau pekerja iuran ikut JHT dikelola BPJS Ketenagakerjaan kan, dikembangkan.”

Lebih lanjut ia menjelaskan Negara memerintahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan “bonus” makanya disebut manfaat layanan tambahan bagi pekerja yang ikut JHT. Karena pekerja sudah menitipkan uangnya ke BPJS Ketenagakerjaan, dikelola, di hari tua pekerja itu bisa mengeklaimkan.



Sebelum masuk usia tua, dikelola BPJS Ketenagakerjaan, dikembangkan, diinvestaasikan, maka diperintahkan BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan manfaat layanan tambahan berupa perumahan. Bisa buat beli rumah baru bagi yang belum punya rumah, bisa renovasi rumah. Syaratnya tidak ada upah minimum selama pekerja itu peserta BPJS Ketenagakerjaan dan ikut program JHT. Sifatnya sukarela, bukan diwajibkan.

“Kalau Tapera ini memang wajib karena itu amanat undang-undangnya. Kenapa kalau Tabungan wajib? Ini kan PP ini terbit melaksanakan UU 4/2016. Kalau nanti yang menitip-nitipkan tidak happy dengan UU ini ada mekanismenya. Jadi PP ini hadir memang amanat dari UU. Jadi Permenaker atau peraturan Menteri lain hadir karena ada amanat dari aturan yang lebih tinggi,” papar Indah.

Bagaimana dengan pekerja seperti Ojol (ojek online)? Indah memaparkan memang saat ini Kementerian Ketenagakerjaan sedang menyusun aturan teknis dalam bentuk Permenaker mengenai pengaturan tentang Ojol.

“Ini pun belum selesai. Kami masih melakukan public hiring ini belum selesai, nanti pada saatnya akan kita pertemukan atau kita harmonikan antara Permenaker Pelindungan Ojol dan Pekerja Dalam Paltform Digital Workers dengan penting atau urgent nggak mereka masuk dalam skema Tapera. Jadi kalua sekarang belum bisa saya jawab.”

Ia menyatakan akan segera melakukan sosialisasi dan public hiring dalam beberapa skema. Pertama, pekan depan Kemnaker akan melakukan Sidang LKS Triparti Nasional. LKS Triparti Nasional posisinya adalah perwakilan masing-masing 8 orang dari perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja yang besar-besar, dan 8 orang perwakilan dari APINDO/Kadin, dan 8 orang perwakilan dari kementerian/Lembaga terkait. LKS juga ada di pemerintah daerah provinsi kabupaten kota. Jadi serentak akan dilakukan sosialisasi Triparti Nasional. Kemudian melalui Dewan Pengupahan Nasional dan Dewan Pengupahan Daerah yang ada di seluruh kabupaten/kota. “Dan secara masif akan dilakukan di program-program kita.”

Mekanisme Anggaran Tapera

Dalam keterangan pers tersebut, Direktur Sistem Manajemen Investasi Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu, Saiful Islam, menjelaskan mekanisme anggaran untuk program Tapera. Tapera adalah tabungan peserta yang dikelola untuk menyediakan pendanaan jangka panjang yang berkelanjutan dalam rangka pembiayaan perumahan. Pembiayaan perumahan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi rakyat Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945.

Tapera dikelola oleh Badan Pengelola (BP) Tapera. Hingga saat ini, BP Tapera mengelola dua sumber dana, yakni, Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebagai Tabungan Pemerintah. Pertama, total yang dikelola sampai dengan 2024 sebesar Rp105,2 Triliun. Sejak 2010 Dana FLPP telah menjangkau 1,47 juta Rumah Tangga Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan nilai fasilitas pembiayaan Rp136,2 triliun.

Kedua, alokasi dana FLPP dilakukan setiap tahun melalui APBN Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Investasi Pemerintah (BA BUN 999.03) di Kementerian Keuangan. Ketiga, BP Tapera berdasarkan target rencana penyaluran FLPP dari Kementerian PUPR menghitung kebutuhan dananya dan mengusulkan kepada Kementerian Keuangan. Selanjutnya secara berjenjang usulan tersebut dibahas dan dilakukan reviu serta pembahasan lebih lanjut sesuai dengan mekenisme APBN sebelum dialokasikan dalam usulan RAPBN tahun berikutnya.

Dana Tapera Peserta ASN Eks Bapertarum yang dialihkan ke BP Tapera saat ini memiliki saldo sebesar Rp7,12 Triliun. Untuk Dana Tapera ASN Eks Bapertarum tersebut belum bertambah karena belum dilakukan pemotongan gaji PNS maupun pekerja swasta/mandiri karena belum ditetapkannya peraturan teknis turunan PP-21/2024.



Untuk mekanisme penganggaran yang berasal dari APBN sebesar 0,5% dari Pemerintah selaku pemberi kerja dilakukan oleh Kementerian Keuangan (untuk ASN Pusat) dan masing-masing Pemda (untuk ASN Daerah). Sedangkan untuk kewajiban peserta sebesar 2,5% dilakukan melalui pemotongan gaji yang akan disetorkan ke BP Tapera.

Mekanisme lebih lanjut terkait tata cara penganggaran: untuk tabungan peserta ASN akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagai tindak lanjut penetapan PP-21/2024, sedangkan untuk tabungan peserta pekerja swasta dan mandiri mekanismenya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Peraturan BP Tapera. Dana tersebut bukan merupakan bagian dari APBN.

Pemerintah melalui APBN tahun 2018, telah memberikan Dana Modal Awal kepada BP Tapera untuk dikelola, sebesar Rp2,5 triliun yang bersumber dari APBN 2018 terdiri dari Rp2 triliun sebagai dana kelolaan yang hasil pengelolaannya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan biaya operasional dan investasi BP Tapera secara berkelanjutan, dan Rp500 miliar digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kegiatan investasi BP Tapera. Berdasarkan Laporan Keuangan Audited 2023, posisi Aset Netto Modal Awal per 31 Desember 2023 adalah sebesar Rp2,79 triliun.

Pemerintah, selain melalui program FLPP, telah memberikan berbagai dukungan fiskal dengan sumber dana dari APBN untuk sektor perumahan, di antaranya:

  • Insentif Perpajakan untuk Rumah Umum, Pondok Boro (rumah sederhana untuk pekerja sektor informal/buruh tidak tetap).
  • Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Rumah Pekerja yang dibebaskan PPN (PMK 60/2023); Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk rumah tapak dan satuan rumah susun dengan harga jual paling banyak Rp5 miliar hingga akhir tahun 2024 (PMK 7/2024)
  • Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) berupa program bantuan Uang Muka KPR sebesar 4 Juta Rupiah untuk wilayah non-Papua dan Rp10 juta untuk wilayah Papua, yang dimulai sejak tahun 2015
  • Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), berupa bantuan untuk meningkatkan kualitas layak huni bagi kelompok masyarakat secara swadaya dengan nilai sebesar Rp17,5 juta – Rp35 juta.
  • Pembangunan Rumah Susun dan Rumah Khusus yang ditujukan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), yang pengusulannya diusulkan oleh Pemerintah Daerah atau Lembaga Penerima Bantuan melalui Kementerian PUPR.

Selain dari sumber dana APBN, Pemerintah juga mengupayakan dukungan untuk sektor perumahan melalui sumber lain seperti leverage pendanaan dari BUMN seperti PT. SMF, yang antara lain dipergunakan untuk mendukung FLPP dan sekuritisasi KPR Perumahan; serta alokasi APBD berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang Perumahan.

Kementerian Keuangan bersama dengan kementerian terkait akan memastikan pelibatsertaan aktif seluruh stakeholder dalam penyempurnaan program Tapera ini mengingat tujuan mulia dari program Tapera yaitu pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi rakyat Indonesia.

Persoalan Backlog

Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kemen PUPR, Herry Trisaputra Zuna, menambahkan di sektor perumahan, setidaknya terdapat 3 jenis backlog. Yakni, backlog kepemilikan, backlog kepenghunian, dan backlog kualitas (rumah tidak layak huni). Angka 9,9 juta adalah backlog kepemilikan rumah di Indonesia dari hasil Susenas yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2023, yang menunjukkan bahwa ketimpangan antara kebutuhan akan rumah dan ketersediaan rumah .

Ia menjelaskan penyebab utama dari backlog (gap) kepemilikan hunian adalah terdapat beberapa penyebab dari backlog kepemilikan hunian seperti kenaikan harga properti, pertumbuhan populasi penduduk yang lebih tinggi dari pertumbuhan pembangunan hunian, serta ketidakpastian ekonomi. Namun, penyebab utama terjadinya gap adalah ketidakterjangkauan antara harga rumah yang ada di pasar dengan penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah.

Peran PUPR di bidang pembiayaan perumahan adalah dengan memberikan fasilitasi, seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang disalurkan tahun 2010-sekarang, Subsidi Selisih Bunga/Subsidi Selisih Marjin (SSB/SSM) yang disalurkan tahun 2015-2020, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) yang disalurkan tahun 2017-2022, dan Pembiayaan Tapera. Untuk FLPP dan SSB mendapat Bantuan Uang Muka.



Penerapan program Tapera sebenarnya, tidak hanya dijalankan oleh Indonesia, namun juga diterapkan di beberapa negara lain. Contohnya program Central Provident Fund (CPF) Singapura yang bersifat wajib. Porsi pendapatan 20% pekerja, 15,5% pemberi kerja. Ini diperuntukkan untuk Dana Pensiun, pembiayaan rumah, layanan kesehatan, dan Fasilitas Pendidikan.

Contoh lain, kata Herry, Employees Provident Funt (EPF) di Malaysia. Sifatnya juga wajib, dengan porsi pendapatan 11% pekerja, 13% pemberi kerja, dengan peruntukkan perumahan, pendidikan, kesehatan. Kemudian di China, ada program Housing Provident Fund (HPF) yang juga sifatnya wajib, porsi pendapatan 5% hingga 12% berdasarkan gaji, dan diperuntukkan untuk dana pensiun dan pembiayaan rumah.

Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Jasmi, mengatakan OJK juga terlibat dalam mekanisme pengawasan terhadap BP Tapera. Cakupan pengawasan yang dilakukan OJK, dasarnya tentu mengacu pada ketentuan perundang-undangan, dalam hal ini salah satunya adalah UU Tapera. OJK juga sudah menerbitkan POJK No. 20 yang diterbitkan pada tahun 2022, mengenai pengawasan terhadap BP Tapera.

BP Tapera adalah Lembaga sui generis, yang pengawasannya selain dilakukan oleh OJK, juga oleh Komite Tapera. Berdasarkan POJK Nomor 20 Tahun 2022 tentang Pengawasan BP Tapera (POJK 20/2022). Ruang lingkup pengawasan OJK meliputi antara lain:

  • Pengelolaan aset BP Tapera
  • Penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko pada BP Tapera
  • Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Tapera dan ketentuan internal BP Tapera

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya