SOLOPOS.COM - Ilustrasi kebebasan berekspresi sebagai dasar mengukuhkan toleransi. (sejuk.org)

Solopos.com, YOGYAKARTA — Produk hukum di Indonesia dinilai masih banyak yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Hal ini memicu kelompok minoritas semakin rentan dipersekusi, terutama ketika pemahaman masyarakat juga belum utuh terhadap kelompok minoritas.

Peneliti SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah, menjelaskan secara sosiologis, Indonesia memiliki 300 etnik, 1.340 suku bangsa, 742 bahasa atau dialek, enam agama dan 187 kelompok aliran kepercayaan. Dengan tingkat keberagaman ini, maka perlindungan hak dasar kelompok minoritas sangat diperlukan.

Promosi BRI Catat Setoran Tunai ATM Meningkat 24,5% Selama Libur Lebaran 2024

Sayangnya, sistem hukum di Indonesia belum memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam konteks sistem hukum, terdapat setidaknya tiga hal yang mendasari, yakni legal substance atau produk hukum, legal structure atau apparatur negara pelaksana produk hukum dan legal culture atau literasi tentang produk hukum di masyarakat.

“Kenapa pembahasan diskursus terkait kebijakan maupun produk hukum sangat penting, karena mempengaruhi sistem hukum dalam konteks Indonesia. Mulai dari peraturan, kebijakan, apakah sudah cukup baik tidak, atau justru pemerintah melakukan pelanggaran HAM melalui produk hukum,” ujarnya dalam Workshop Seri III Politik Identitas dan Perlindungan Kelompok Minoritas di Tahun Politik, program fellowship AJI Yogyakarta, secara online, Rabu (29/11/2023), dalam rilis yang diterima Solopos.com.

Berdasarkan temuan Komnas Perempuan pada 2021, terdapat 441 kebijakan diskriminatif di berbagai daerah, yang menyasar kelompok minoritas perempuan hingga agama. 

“Ada 442 Perda Syariah atau mengatur isu-isu moralitas. Ini sangat rentan pada minoritas keagamaan dan keragaman gender dan seksual,” katanya.

Khusus produk hukum yang menyasar kelompok minoritas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), SETARA Institute mencatat ada sebanyak 71 produk hukum yang diskriminatif. 

“Saya menekankan dalam konteks ini, negara secara sadar melakukan pelembagaan diskriminasi. Di dalam berbagai produk hukum, diskriminasi terjadi sebagai akibat dan implementasi produk hukum tersebut,” paparnya.

Di ranah gender, hasil penelitian menunjukkan 45 peraturan diskriminatif. Ada yang menyasar langsung LGBT maupun yang menyangkut kesusilaan. 

“Banyak juga Perda ketertiban umum jadi landasan sweeping, khususnya terhadap ragam gender dan seksual. Mereka mengadakan kegiatan berkumpul biasa, tapi kemudian dipersekusi dan dicap pesta seks,” katanya.

Di Kota Bogor, Cianjur dan Garut, banyak mengesahkan aturan diskriminasi pada kelompok ragam gender dan seksual. Ketika ada Perda di daerah tertentu, seolah diikuti daerah-daerah lain, seperti Makassar, Riau dan sebagainya.

“Mengapa ada perda diskriminatif, karena tak didasarkan pada keilmuwan. Misalnya di Bogor, Perda mengatur orientasi seksual dan disebut sebagai penyakit sosial. Secara jelas di sana tak ada tindakannya. Sederhananya, bila ada homoseksual dan tak melakukan apapun, bisa saja dia ditangkap aparat,” ungkapnya.

Direktur Yayasan LKiS – Lembaga Kajian Islam dan Sosial, Hairus Salim, membahas tentang advokasi terhadap kelompok minoritas. 

Ia mengatakan LKiS banyak melakukan pendampingan pada kelompok minoritas penghayat kepercayaan untuk tidak terdiskriminasi. Hairus lantas merumuskan tiga langkah dalam mengadvokasi, yakni pengakuan, penerimaan dan pelayanan. 

“Missal, kelompok penghayat di suatu desa, disebut perlu pengakuan dari masyarakat sekitar. Disebut juga rekognisi. Contoh, pengakuan pada orang itu sebagai penghayat. Oh iya, dia berbeda dengan kita dan berhak diakui,” ujarnya.

Kemudian dalam penerimaan, indikasinya masyarakat sekitar mau melibatkan kelompok penghayat dalam berbagai kegiatan. 

Ketiga, pelayanan, yakni bagaimana negara atau pemerintah melayani hak dari kelompok penghayat kepercayaan. “Kalau pelayanan langsung membidik negara,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya