SOLOPOS.COM - Pimpinan Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang menyampaikan dzikir jumat kepada para santri dan jamaah Pondok Pesantren Al Zaytun usai melakukan ibadah shalat jumat di Masjid Rahmatan Lil Alamin, kawasan Pondok Pesantren Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (28/7/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.

Solopos.com, JAKARTA — Sejumlah pihak yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Penodaan Agama mengecam penetapan tersangka pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun Panji Gumilang dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. 

Mereka juga mengecam penahanan Panji Gumilang di Rutan Bareskrim sejak Rabu (2/8/2023) sore. 

Promosi Harga Saham Masih Undervalued, BRI Lakukan Buyback

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Pasal Penodaan Agama, penetapan tersangka dan penahanan dengan pasal penodaan agama pada Panji Gumilang adalah pelanggaran kebebasan sipil. 

Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Pasal Penodaan Agama terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan (YSK), Setara Institute, Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB), dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), LBH Bandung, Imparsial, dan LBH Jakarta.

Agama adalah ranah subjektif yang masing-masing warga memiliki hak yang setara untuk memiliki tafsir atas keyakinan keagamaan. 

Kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah hak mendasar setiap warga negara dan dijamin dalam instrumen hukum dan HAM seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

“Selama ini, Indonesia dikenal sebagai negara demokratis dengan catatan serius pada aspek kebebasan sipil. Penetapan tersangka penodaan agama pada Panji Gumilang ini akan menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan menjadikan negara ini kembali tercoreng di mata internasional,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Pasal Penodaan Agama, dalam rilis yang diterima Solopos.com.

Keputusan ini akan membuat Indonesia sulit bangkit dari posisi sebagai negara dengan kemerosotan kualitas demokrasi yang serius. 

Setara Institute mencatat bahwa sepanjang pemerintahan Jokowi terjadi lonjakan hebat kasus-kasus penodaan agama. 

Catatan Setara Institute menunjukkan, sejak 1965 hingga akhir 2022 telah terjadi 187 kasus penodaan agama. Kasus ini menambah rentetan sejarah kelam kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut.

“Kami meminta negara untuk menghentikan penggunaan pasal karet penodaan agama untuk menjerat individu dan kelompok yang memiliki ikhtiar pemikiran dan tafsir berbeda pada keyakinan keagamaan. Negara perlu menjamin dan memberi kepastian kebebasan sipil bagi setiap warganya,” beber rilis tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Pasal Penodaan Agama juga meminta media untuk secara objektif tidak ikut dalam produksi berita yang menyudutkan kelompok berbeda dengan turut serta memberi label sesat atau menyimpang. 

“Media seharusnya berdiri di atas semua kelompok masyarakat dan meminta aparat hukum untuk membebaskan Panji Gumilang dari tuntutan dan tuduhan penistaan atau penodaan agama,” pungkas rilis tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya