SOLOPOS.COM - Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar hadir dalam sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.

Solopos.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin).

Kendati demikian, putusan tersebut tak bulat lantaran dari delapan hakim MK, terdapat tiga hakim yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion.

Promosi BRI Borong 12 Penghargaan 13th Infobank-Isentia Digital Brand Recognition 2024

“Terdapat putusan Mahkamah Konstitsui a quo, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 3 (tiga) Hakim Konstitusi. Yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nubaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam persidangan di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (22/4/2024), dipantau dari Youtube MK.

Dalam penyampaian pendapat berbedanya, Saldi berkeyakinan bahwa telah terjadi upaya politisasi bansos dan mobilisasi aparat dengan tujuan keuntungan elektoral.

“Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas,” kata Saldi.

Saldi beranggapan, dalil Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berkaitan dengan politisasi bantuan sosial bansos untuk pemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming seharusnya tidak ditolak Mahkamah.

Terdapat fakta persidangan, menurutnya, perihal pemberian atau penyaluran bansos atau sebutan lainnya yang lebih masif dibagikan dalam rentang waktu yang berdekatan/berimpitan dengan pemilu.

“Praktik demikian merupakan salah satu pola yang jamak terjadi untuk mendapatkan keuntungan dalam pemilu (electoral incentive),” ucap Saldi.

Ia menjelaskan, keterlibatan beberapa menteri aktif yang menjadi tim kampanye dalam membagi bansos terasosiasi dengan jabatan presiden secara langsung maupun tidak langsung sebagai pemberi bansos memunculkan, atau setidaknya berpotensi atas adanya konflik kepentingan dengan pasangan calon.

“Sementara itu, merujuk fakta yang terungkap dalam proses persidangan, menteri yang terkait langsung dengan tugas tersebut, in casu Menteri Sosial yang seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap pemberian bansos, menyampaikan keterangan bahwa tidak pernah terlibat dan/atau dilibatkan dalam pemberian atau penyaluran bansos secara langsung di lapangan,” ungkap Saldi.

Keterlibatan Menteri Aktif

Saldi kemudian menyinggung fakta dalam persidangan bahwa terdapat sejumlah menteri aktif yang membagikan bansos kepada masyarakat, terutama selama periode kampanye.

“Kunjungan ke masyarakat itu hampir selalu menyampaikan pesan ‘bersayap’ yang dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan atau kampanye terselubung bagi pasangan calon tertentu,” kata dia.

Padahal, ketika kegiatan para menteri membagikan dana bansos atau dana lain yang berasal dari APBN, norma Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu antara lain menyatakan, “menteri harus memenuhi ketentuan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan menjalani cuti di luar tanggungan negara”.

Saldi mengaku merasa mengemban kewajiban moral untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu.

Terlebih, dalam waktu dekat, Pilkada 2024 akan segera dihelat secara nasional dan serentak.

“Penggunaan anggaran negara/daerah oleh petahana, pejabat negara, ataupun oleh kepala daerah demi memenangkan salah satu peserta pemilihan yang didukungnya dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum dan dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan,” ungkap Saldi.

“Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa,” tambahnya.

Guru besar Universitas Andalas itu mengakui memiliki keyakinan yang berbeda dengan sebagian hakim yang lain, termasuk dalam hal tidak mobilisasi aparat yang banyak dilaporkan tetapi tidak ditindaklanjuti Bawaslu dengan dalih persyaratan pelaporan yang kurang lengkap.

Saldi menganggap, hal itu dapat dipandang sebagai cara Bawaslu menghindar untuk memeriksa substansi laporan yang berkenaan dengan pelanggaran pemilu.

Ia secara pribadi meyakini, telah terjadi ketidaknetralan sebagian penjabat kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil.

“Semuanya ini bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo beralasan menurut hukum,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya