SOLOPOS.COM - Suasana kawasan Dago Elos, Kota Bandung, mencekam Senin (14/8/2023) malam hingga nama daerah itu muncul di trending topic Twitter. (Istimewa/Twitter Bandung Bergerak ID)

Solopos.com, BANDUNG — Suasana kawasan Dago Elos, Kota Bandung, mencekam Senin (14/8/2023) malam hingga nama daerah itu muncul di trending topic Twitter. 

Warganet menyoroti tindakan represif polisi terhadap warga yang berunjuk rasa menolak penggusuran dengan memblokade di Jalan Ir H Juanda. Tindakan represif warga itu terekam dalam tangkapan foto maupun video yang menyebar di Twitter salah satunya @BandungBergerakID dan @GejayanCalling.

Promosi Waspada Penipuan Online, Simak Tips Aman Bertransaksi Perbankan saat Lebaran

Foto-foto dan video kericuhan tersebut ramai diperbincangkan. Dalam aksinya, warga menuntut Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk segera membuat pernyataan resmi terhadap status kepemilikan tanah Dago Elos, Kecamatan Coblong.

Mereka juga meminta BPN agar memblokir bekas Eigendom Verponding di wilayah Dago Elos dan sekitarnya.

Melansir laman resmi LBH Bandung, dikutip Selasa (15/8/2023), kronologi sengketa tanah di wilayah itu dimulai dari keluarga Muller bernama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller sebagai ahli waris yang menggugat warga Dago Elos.

Ketiganya mengaku keturunan dari George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda. 

Ketiganya kini sudah menjadi warga negara Indonesia. Mereka mengklaim bahwa tanah seluas 6,3 hektare di Dago Elos sudah diwariskan kepada mereka.

Semula, diatas tanah itu berdiri Pabrik NV Cement Tegel Fabriek dan Materialen Handel Simoengan atau  PT Tegel Semen Handeel Simoengan, tambang pasir, dan kebun-kebun kecil. Kini kondisinya sudah berbeda jauh. 

Di atas lahan itu kini ada kantor pos, Terminal Dago, dan didominasi oleh rumah-rumah warga RT 01 dan 02 dari RW 02 Dago Elos. Meski demikian, tidak seluruh warga RW 02 menempati lahan 6,3 hektare yang diklaim keluarga Muller.

Tanah itu diklaim berasal dari Eigendom Verponding atau hak milik dalam produk hukum pertanahan kolonial Belanda. 

Tanah seluas 6,3 hektare itu terbagi dalam tiga Verponding: nomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 seluas 44.780 meter persegi. 

Sertifikat tanah itu dikeluarkan oleh Kerajaan Belanda pada 1934. Sejatinya hak barat tersebut menjadi bagian dari nasionalisasi tanah bekas Belanda atau setidaknya berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya 20 tahun sejak UUPA berlaku.

Namun hingga lebih dari 50 tahun keluarga Muller tidak pernah tercatat melakukan kewajibannya mencatatkan ulang bahkan menelantarkan begitu saja tanpa menduduki secara fisik tanah tersebut.

Bahkan hingga tanah itu dijadikan sebagai sumber penghidupan tempat tinggal oleh warga kampung Dago Elos.

Kabar kemenangan sempat menyebar ditahun 2020 semasa seluruh masyarakat sedang berjuang menghadapi pandemic Covid-19 melalui putusan Putusan Kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019, hakim Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa eigendom verponding atas nama George Henrik Muller sudah berakhir karena tidak dikonversi paling lambat tanggal 24 September 1980.

Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat yang menyatakan “Tanah Hak Guna, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat, jangka waktu akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara”

Hal tersebut menegaskan bahwa klaim tanah atas nama keluarga Muller tidak dapat mengalihkan ataupun mengoperkan tanah di Dago Elos yang sejatinya telah jelas dikuasai sebagai tempat tinggal warga kepada PT Dago Inti Graha.

Menanggapi putusan Kasasi, warga segera mendaftarkan tanah itu kepada BPN Kota Bandung, terhitung sejak 21 Januari 2021.

Warga mengajukan permohonan sertifikasi pendaftaran tanah kepada Kantor Agraria dan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung namun hingga sampai saat ini belum ditanggapi oleh kantor BPN Kota Bandung.

Selang satu tahun lebih tidak direspon BPN Kota Bandung, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 109/PK/Pdt/2022 yang sebelumnya telah diajukan upaya hukum peninjauan kembali oleh pihak Heri Muller. 

Keadaan pun berbalik, dengan adanya Putusan Peninjauan kembali tersebut mengabulkan Gugatan pihak keluarga Muller yang sebelumnya di dalam kasasi ditolak gugatan tersebut.

“Hakim agung sebagai representasi negara dan seharusnya menjadi orang paling mengerti hukum malah membenarkan hal itu dengan putusannya yang memenangkan penggugat tanpa melihat kondisi warga yang telah menggarap dan menempati lahan selama puluhan tahun,” tulis LBH Bandung dalam siaran pers-nya.

Putusan Peninjauan Kembali Nomor 109/PK/Pdt/2022 menetapkan Heri Hermawan Muller cs berhak atas kepemilikan objek tanah Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741 dan 3742 seluas 6,3 Hektar. 

Sehingga melalui putusan tersebut pengadilan menetapkan bahwa pihak Heri Muller cs berhak mengajukan permohonan hak untuk sertifikasi objek tanah Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741 dan 3742.

Selain itu dalam Peninjauan Kembali Nomor 109/PK/Pdt/2022 menyatakan menurut hukum pengoperan dan pemasrahan/ penyerahan hak atas tanah dari Heri Muller CS kepada Penggugat IV PT Dago Inti Graha, yang dibuat dengan Akta Nomor 01 tanggal 01 Agustus 2016 terkait 3 bidang tanah yakni objek tanah Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741 dan 3742.

“Sungguh kontras terlihat perbedaan antara Putusan Peninjauan Kembali dengan putusan Kasasi sebelumnya,” tulis siaran pers itu lagi.

Warga menilai dalam putusan kasasi yang menolak gugatan Heri Muller CS mengambang dan tidak tegas, berbeda dengan Putusan Peninjauan Kembali yang menerima gugatan Heri Muller CS.

Putusan tersebut lengkap terhadap perintah mengakui kepemilikan meliputi perintah sertifikasi terhadap objek tanah Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741 dan 3742.

“Kami pun menganggap bahwa Putusan Peninjauan Kembali Nomor 109/PK/Pdt/2022 tersebut ada beberapa poin yang kami nilai bermasalah,” beber rilis itu.

Pertama, dalam putusan tersebut majelis hakim tidak mempertimbangkan suatu bukti baru (novum) dalam mengeluarkan putusan, majelis hakim agung hanya berbekal terdapat kekhilafan hakim dan atau kekeliruan yang nyata oleh putusan kasasi dimana putusan Kasasi menolak seluruh gugatan penggugat.

Kedua, pada putusan ini majelis hakim menilai bahwa warga kampung Dago Elos melakukan perbuatan melawan hukum karena menguasai objek sengketa Eigendom Verponding.

Namun dalam pertimbangan hakim, status tanah Eigendom Verponding tersebut telah berakhir dan beralih status menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara karena tidak pernah diajukan pembaharuan hak hingga batas tanggal 24 September 1980.

Hal itu sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. 



Sehingga, gugatan perbuatan melawan hukum tidak bisa diterima karena warga tidak mungkin melakukan perbuatan melawan hukum dengan menguasai tanah yang dikuasai oleh negara.

Ketiga, pada putusan peninjauan kembali tanah masih berstatus tanah yang dikuasai langsung oleh negara namun majelis hakim memutuskan bahwa menyatakan sah menurut hukum pengoperan dan pemasrahan/ penyerahan hak atas tanah yang dibuat dengan Akta Nomor 01 tanggal 01 Agustus 2016. 

Sedangkan tanah yang dikuasasi oleh negara tidak dapat dilakukan pengoperan dan pemasrahan/ penyerahan subjek hukum selain negara itu sendiri. Sehingga  penguasaan fisik oleh warga tidak merupakan Perbuatan Melawan Hukum;

Keempat, earga Dago Elos sudah menguasai objek sengketa dalam kurun waktu lama dan terus menerus, penguasaan mana patut dan adil untuk diberikan hak milik atau diberikan hak prioritas untuk memohon hak atas tanah.

Itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Juncto Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Kelima, putusan Peninjauan Kembali Nomor 109/PK/Pdt/2022 dianggap jauh mencerminkan keadilan terhadap warga Dago Elos.

Putusan tersebut memerintahkan siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan dan membongkar bangunan yang berdiri di atasnya serta menyerahkan tanah objek sengketa tanpa syarat apapun kepada PT Dago Inti Graha selaku Penggugat IV, bilamana perlu melalui upaya paksa dengan menggunakan bantuan alat keamanan negara;

“Melalui putusan ini segala sesuatu sertifikat-sertifikat maupun segala surat-surat beserta semua turunannya yang dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Pemerintah Kota Bandung, Kantor Pertanahan Kota Bandung yang menyangkut atau menyebutkan tanah-tanah yang berasal dari bekas hak barat Eigendom Vervondings No 3740, 3741 dan 3742 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dan dinyatakan tidak sah,” pungkas Forum Warga Dago Melawan dan LBH Bandung.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya