SOLOPOS.COM - Infografis Omnibus law Nakes (Solopos/Whisnupaksa)

Solopos.com, SOLO — Tenaga kesehatan (nakes) mengancam akan melakukan mogok kerja setelah RUU Kesehatan yang penuh pasal kontroversial resmi disahkan oleh DPR RI pada Selasa (11/7/2023). 

RUU Kesehatan ini menjadi sasaran demo masyarakat, karena dinilai cacat prosedur dan tidak transparan. 

Promosi BRI Dipercaya Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji 2024

Banyak pasal yang dinilai kontroversional dan hanya merugikan sebagian pihak, termasuk nakes di kemudian hari. 

Setelah ini, akan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang akan menjadi badan yang menaungi konsil kedokteran di Indonesia. 

Aturan ini pun menjadi salah satu yang diprotes keras oleh nakes karena dinilai melemahkan organisasi profesi. 

Berikut 5 pasal kontroversional dalam RUU Kesehatan yang dinilai melemahkan Nakes: 

1. Nakes bertanggung jawab di bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes)

Dari yang sebelumnya berdiri sendiri secara indepen dan bertanggung jawab kepada presiden, kini Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berada di bawah Kemenkes.

“Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri,” bunyi Pasal 239 ayat 2 UU Kesehatan.

Pasal ini, menurut IDI, bersifat melemahkan organisasi profesi karena sebagian besar tugasnya akan diambil alih Kemenkes.

2. Ketentuan organisasi profesi 

Selain itu dalam RUU Kesehatan bagian pengaturan Organisasi Profesi, dinyatakan setiap kelompok tenaga medis dan tenaga kesehatan diperbolehkan untuk membentuk satu organisasi profesi. 

Sebelumnya, dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan satu-satunya wadah tunggal bagi profesi dokter di Indonesia. 

Sementara untuk dokter gigi, organisasi profesi yaitu Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Sehingga dapat dikatakan bahwa kedepannya bukan hanya IDI dan PDGI organisasi profesi yang keberadaannya akan diakui dalam RUU Kesehatan. 

IDI sendiri menolak ketentuan baru ini karena ditakutkan akan ada standar ganda dalam penegakan etika profesi kedokteran yang kemudian menimbulkan kegaduhan dan masyarakat tidak mendapatkan haknya.

3. Mandatory spending

Pasal lainnya yakni yang mengatur mengenai mandatory spending atau alokasi anggaran. DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen. 

Penghapusan ini bertujuan agar mandatory spending dapat menjalankan program strategis tertentu di sektor kesehatan diharapkan bisa berjalan maksimal.

Artinya, lenyapnya mandatory spending sebenarnya bukan memperbaiki kualitas anggaran kesehatan, namun justru memperkecil kontribusi anggaran kesehatan dalam peningkatan defisit APBN.

Akibatnya, proyek-proyek yang membutuhkan anggaran besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan proyek infrastruktur lainnya, akan mendapatkan porsi yang sangat besar dalam kas negara.

4. Kriminalisasi nakes 

Pada pasal 462 ayat 1, dikhawatirkan tenaga kesehatan dan medis akan menghadapi potensi kriminalisasi dalam menjalankan prakteknya.

“Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun,” demikian tertulis dalam pasal tersebut.

Lalu, pada ayat 2 tertulis, “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”. 



Pasal ini berpotensi memunculkan kriminalisasi dokter lantaran tidak terdapat penjelasan rinci terkait poin kelalaian. 

5. Dipermudahnya izin nakes asing di Indonesia

Kontroversi lainnya yakni dipermudahnya nakes asing di Indonesia, di mana dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri untuk membuka praktik dengan syarat lulus pendidikan spesialis. 

Persyaratan yang harus dikantongi mereka untuk membuka praktik di dalam negeri adalah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktik. 

Akan tetapi, jika dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis, mereka bisa dikecualikan dari persyaratan itu. 

Aturan tersebut dinilai berbahaya karena dokter spesialis dapat beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Padahal selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.

 

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “5 Pasal Kontroversional RUU Kesehatan, Salah Satunya Mudahkan Izin Nakes Asing”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya