SOLOPOS.COM - Wali Kota Batu Eddy Rumpoko (tengah) dengan penjagaan anggota Satbrimobda Jatim keluar dari ruang Subdit III Tipidkor Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, Sabtu (16/9/2017). (JIBI/Solopos/Antara/M Risyal Hidayat)

Tertangkapnya Wali Kota Batu dan sederet kepala daerah lainnya membuat tingginya biaya politik pilkada kembali disorot.

Solopos.com, JAKARTA — Tertangkapnya Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko, menambah daftar panjang para kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Eddy Rumpoko menjadi tersangka penerima suap berupa fee proyek dari seorang pengusaha dari proyek pengadaan mebel senilai Rp5,26 miliar.

Promosi BRI Kembali Gelar Program Pemberdayaan Desa Melalui Program Desa BRILiaN 2024

Sebelumnya, ada beberapa kepala daerah yang turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang berbeda. Mereka adalah Bupati Batubara Sumatra Utara Arya Zulkarnain; Wali Kota Tegal, Siti Mashita; Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti; serta Wali Kota Madiun, Bambang Irianto.

Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, mengungkapkan bahwa berkaca dari persaingan antarkandidat dalam pemilihan kepala daerah selama 2015, persaingan terbuka bisa melahirkan praktik korupsi setelah calon tersebut menduduki jabatannya.

Pada 2015 silam, KPK wewawancarai 270 kandidat kepala daerah yang kalah dalam pertarungan perebutan kepala daerah 2015 silam. Menariknya, tidak sedikit dari responden tersebut diketahui memiliki harta yang jauh lebih sedikit dibandingkan perhitungan biaya kampanyenya. Baca juga: Dapat Fee dari Proyek Pengadaan Mebel, Wali Kota Batu Jadi Tersangka.

Dari wawancara tersebut, mereka mengungkapkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang berkenan menjadi sponsor untuk membiayai biaya kampanye. Jika terpilih, lanjut Pahala, dana dari “sponsor” wajib dikembalikan menggunakan dana APBD berupa pemberian proyek, atau pemberian izin pertambangan jika sponsornya dari pihak swasta. Pengembalian bisa juga pemberian promosi jabatan kapala dinas bagi PNS yang diam-diam menyokong kandidat tersebut.

KPK, lanjutnya, masih akan terus melakukan riset serupa pada pilkada serentak 2017 serta 2018 untuk melihat pola-pola tersebut. Jika hasil dua riset tersebut tidak berubah, maka sistem pemilihan berkontribusi terhadap praktik korupsi politik yang dilakukan oleh para aktor politik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya