SOLOPOS.COM - Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat memberikan sambutan pada puncak Peringatan HUT Ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1/2023). (ANTARA/HO-DPP PDI Perjuangan)

Solopos.com, JAKARTA–Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Andreas Hugo Pareira mengatakan sebaiknya delapan partai politik (parpol) yang tak setuju soal sistem pemilu tertutup jangan latah menyebut diri sebagai sebuah koalisi. Andreas pun merasa rencana itu bukan untuk membentuk koalisi melainkan hanya sebuah manuver politik untuk mempengaruhi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara sistem pemilu.

Saat ini, MK sedang mendalami perkara No. 114/PUU-XX/2022 tentang Sistem Pemilu. Para penggugat, yang salah satunya kader PDIP, meminta sistem pemilu yang awalnya proporsional terbuka diganti menjadi proporsional tertutup.

Promosi Kredit BRI Tembus Rp1.308,65 Triliun, Mayoritas untuk UMKM

“Kalau itu [rencana delapan partai politik koalisi] berkaitan dengan sidang di MK soal proporsional terbuka atau tertutup, lebih tepatnya kita sebut sebagai manuver politik untuk memengaruhi MK,” ujar Andreas saat dihubungi, Kamis (26/1/2023).

Dia memprediksi delapan parpol itu akan kembali membubarkan diri setelah MK memutuskan perkara itu. Oleh sebab itu, Andreas menyarankan parpol lain jangan latah menggunakan kata koalisi.

“Percayalah, setelah keputusan MK pasti yang dimaksud koalisi akan bubar karena setelah itu kepentingan parpol-parpol sudah berbeda lagi. Sehingga sebaiknya jangan latah menggunakan istilah yang kemudian menyesatkan,” jelas anggota Komisi X DPR itu.

Apalagi, lanjut Andreas, tak ada istilah koalisi permanen dalam perpolitikan Indonesia. Oleh sebab itu, dia tak yakin kedelapan parpol itu akan menjalin koalisi bersama untuk Pemilu 2024.

“Yang ada lebih bersifat kerja sama-kerja sama proyek jangka pendek yang lebih bersifat pragmatis,” ungkapnya.

Sebelumnya, Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan ada ide membentuk koalisi besar yang terdiri atas delapan partai politik (parpol) parlemen, tanpa PDI Perjuangan (PDIP).

Dasco menjelaskan delapan parpol yang dimaksud merupakan yang kompak menolak penerapan sistem pemilu proporsional tertutup. Mereka meliputi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

“Ini kan masalah berkaitan dengan proporsional terbuka dan tertutup kan. Ada delapan partai yang menginginkan proporsional terbuka. Lalu kemudian ada ide tadi, bagaimana kalau delapan ini membentuk suatu koalisi permanen bersama di dalam menghadapi pileg [pemilu legislatif] dan pilpres [pemilihan presiden],” ujar Dasco saat ditemui di Sekber Gerindra-PKB, Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2023).

Dia melanjutkan ide tersebut muncul dalam pertemuan antara elite Gerindra, PKB, dan Nasdem di Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra-PKB pada Kamis. Dasco merasa tak ada yang salah dengan ide tersebut. Bahkan, dia mengharapkan koalisi besar delapan parpol parlemen itu dapat terwujud.

“Itu menurut saya kan sah-sah saja, sepanjang dari delapan partai ini kan mau semua kan begitu. Kita berdoa, mudah-mudahan,” ujar Wakil Ketua DPR itu.

Dasco berpendapat dalam politik banyak yang tak terduga bisa terjadi karena politik sangat dinamis. “Bahwa kemudian nanti terjadi hal yang di luar direncanakan, ya itu namanya politik,” jelasnya.

 

Sidang Pleno MK

Sebelumnya, delapan parpol itu mewakili suara mayoritas Fraksi DPR dan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kompak menolak penerapan sistem pemilu proporsional tertutup dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) perkara No. 114/PUU-XX/2022 pada Kamis (26/1/2023).

Dalam perkara itu, para pemohon yang terdiri atas enam orang yang salah satunya kader PDIP meminta sistem pemilu yang awalnya proporsional terbuka diganti menjadi proporsional tertutup. Dalam pembacaan keterangan DPR, anggota Komisi III Supriansa menjelaskan para pemohon perkara tak memiliki legal standing dan tidak memenuhi persyaratak kerugian konstitusional.

Terkait sistem pemilunya, Supriansa menekankan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengharuskan pentingnya keterwakilan rakyat. Oleh sebab itu, sistem pemilu proporsional terbuka sesuai dengan amanat konstitusi.

“Sistem proporsional terbuka memiliki derajat keterwakilan yang baik, karena pemilih bebas memilih wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif secara langsung dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya,” ujar Supriansa saat memberikan pandangan DPR.

Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menyampaikan pandangan serupa. Dia mengutip Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menekankan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Menurutnya, sistem proporsional terbuka saat ini merupakan hasil musyawarah yang memperhatikan kondisi objektif proses transisi masyarakat ke demokrasi. Dengan sistem terbuka, pemerintah menganggap akan ada penguatan sistem kepartaian, budaya politik, perilaku pemilih, hak kebebasan berpendapat, kemajemukan ideologi, kepentingan, dan aspirasi politik masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.

Di samping itu, Bahtiar menekankan saat ini penyelenggaraan pemilu sudah berjalan. Jika sistem pemilu digantikan maka hanya akan menimbulkan masalah baru.

“Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilihan umum di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai maupun masyarakat,” jelas Bahtiar saat memberikan pandangan pemerintah.

Nantinya, MK akan melanjutkan perkara sistem pemilu ini akan dengan menggelar sidang pleno untuk mendengarkan pendapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak terkait lain yang mengajukan diri.



 

Beda Sistem Proporsional Tertutup dan Terbuka

Sebagai informasi, dalam sistem pemilu proporsional tertutup masyarakat tak memilih wakil rakyat di DPR dan DPRD. Lewat pemilu sistem ini, pemilih hanya mencoblos partai politik (parpol). Selanjutnya parpol menentukan kader yang akan duduk di kursi DPR dan DPRD.

Sebaliknya, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang dipraktikkan dalam tiga pemilu belakangan. Lewat sistem ini masyarakat dapat mencoblos langsung wakil rakyat yang dirasa dapat mewakili mereka baik di DPR maupun DPRD.

Wacana perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi sistem pemilu proporsional tertutup atau pemilu coblos partai menimbulkan polemik dalam kancah politik nasional menjelang Pemilu 2024.

Delapan dari sembilan parpol yang memiliki kursi di DPR atau parpol parlemen menolak penerapan sistem pemilu coblos partai seperti dahulu. Mereka menilai penerapan sistem pemilu proporsional tertutup adalah kemunduran demokrasi.

Hanya PDIP yang getol memperjuangkan penerapan sistem pemilu coblos partai pada Pemilu 2024 mendatang.

Polemik ini mengemuka setelah ada sejumlah orang, termasuk kader PDIP, yang mengajukan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-undang (UU) No. 7/2017 tentang Pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara uji materi itu teregister dengan No. 114/PUU-XX/2022 tentang Sistem Pemilu

Pasal yang diuji materi itu menyebut Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Respons Dingin PDIP Diancam Dikeroyok 8 Partai pada Pemilu 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya