SOLOPOS.COM - Ilustrasi Pilkada (JIBI/Harian Jogja/Dok)

UU Pilkada diusulkan direvisi dan Komisi II menyampaikan catatan terkait UU tersebut.

Solopos.com, JAKARTA – Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan lima catatan apabila pemerintah menginginkan revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

“Saya menilai paling tidak ada lima isu penting yang menurut kami perkembangan di Komisi II DPR harus dilakukan perubahan [dalam UU Pilkada],” kata Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy di Jakarta, Rabu (23/12/2015).

Pertama, menurut dia, terkait asas efisiensi, Komisi II mendesak pemerintah memasukkan standar pembiayaan Pilkada karena tidak cukup hanya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), namun harus diatur dalam UU.

Menurut dia, kalau tidak dibuat standar pembiayaan Pilkada, akan ada daerah yang euforia melaksanakan Pilkada sehingga penggunaan dana pilkadanya terlalu besar. “Ada yang biasanya besar sekali, itu tidak memenuhi prinsip efisiensi dalam Pilkada serentak,” ujar dia.

Kedua partisipasi pemilih yang sekarang banyak di bawah 50 persen, harus diantisipasi UU dengan cara mengembalikan kepada pasangan calon untuk sosialisasi sehingga bukan dilakukan KPUD lagi.

Dia mengatakan, hampir semua KPUD menolak diberikan tugas memasang Alat Peraga dan Kampanye (APK), namun karena sudah diamanahkan UU terpaksa melaksanakan, akhirnya tidak efektif.

“Ini harus dikembalikan pada pasangan calon biar mereka yang memasang dan memelihara APK dengan memberikan batasan jumlahnya berapa, ukuran berapa dan tempat pemasangan dimana, itu diatur sekalian dalam UU,” tuturnya.

Ketiga, terkait partisipasi calon, Komisi II DPR banyak menemukan calon tunggal, hanya dua calon dan melihat ada problematika soal rekruitmen calon-calon pemimpin sehingga harus dibuka lagi.

Menurut dia, tidak boleh dibatasi anggota DPR, DPRD harus mundur, PNS harus mundur, TNI harus mundur. “Yang dibatasi itu adalah masa kampanye saja, jadi pasangan calon siapa saja, misalnya, harus cuti kampanye 1 atau 2 bulan, itu yang diatur dalam UU,” ucap dia.

Dia menjelaskan, keempat soal peradilan pemilu, semangat UU Pilkada adalah peradilan pemilu itu sementara dititipkan di MK dan di PTUN. Komisi II, menurut dia, menginginkan ada ketegasan pemerintah, desain peradilan pemilunya seperti apa.

“Kelima, posisi Panwaslu. Kami menemukan hampir di semua daerah Panwaslu tidak berdaya,” kata dia.

Dia menilai Panwaslu di lapangan sifatnya hanya merekap dan memantau, namun begitu diproses temuan-temuan, mereka sudah tidak jalan. Lukman menilai posisi panwaslu seperti itu tidak memberikan rasa adil pada calon-calon yang merasa dirugikan karena itu harus diperkuat, penguatan mekanisme kerja panwaslu.

“Misalnya, memulai ada peradilan awal sebelum ada persiapan periode-periode sebelumnya. Kami mendorong Bawaslu dan Panwaslu mendapat kewenangan untuk peradilan pemilu,” imbuh dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya