SOLOPOS.COM - Ilustrasi (www.ppdi.or.id)

UU Desa memberi amanat turunnya dana miliaran rupiah ke desa-desa. Jika manajemen buruk, dana itu malah memicu korupsi baru.

Solopos.com, JOGJA — Mengacu UU Desa No. 6/2014 tentang Desa, maka desa sebagai subjek pembangunan nasional mendapatkan sumber pendapatan desa juga mendapat jatah dari APBN. Realisasinya, pada April mendatang dana desa sebesar Rp250 juta akan turun untuk seluruh desa di Indonesia.

Promosi BRI Catat Setoran Tunai ATM Meningkat 24,5% Selama Libur Lebaran 2024

Di satu sisi, keputusan pemerintah tersebut menjadi angin segar bagi desa yang terpinggirkan karena konsentrasi pembangunan yang selama ini terpusat di kota. Namun pada sisi lain, dana desa dapat berpotensi memunculkan aksi korupsi.

Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Todung Mulya Lubis, mengatakan pasca dikeluarkannya UU Desa, ada kekhawatiran bahwa pemerintah desa juga bernasib sama dengan pemerintah daerah, provinsi, kabupaten/kota yang banyak tersandung korupsi.

“Desa akan menjadi sumber pundi-pundi politik. Politic is local,” kata Todung Mulya Lubis dalam seminar “Potensi Tindak Pidana Korupsi Dalam Implementasi Undang-Undang Desa” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (28/2/2015).

Ia melihat meski baru ada support dana melalui Anggaran Dana Desa (ADD) dari pemerintah kabupaten saja, wajah desa sudah diwarnai dengan kasus korupsi. Seperti kasus yang dilakukan Feri Hernando, kepala desa Kujang, Cikoneng, Ciamis. Lurah tersebut terbukti melakukan korupsi dana irigasi sebesar Rp95 juta pada 2009.
“Apalagi kalau Rp1,4 miliar dari pemerintah itu beneran cair,” ungkapnya.

Untuk itu, perlu adanya komitmen pemerintah dalam mencegah penyalahgunaan kekosongan hukum melihat saat ini hukum tentang pemerintah desa belum lengkap. Selain itu, peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan dan pendidikan juga perlu dalam rangka peningkatan mutu pengelola keuangan desa.

Menambahkan, Ketua Paguyuban Pamong dan Lurah desa DIY, Bibit Rustamta, menjelaskan bahwa potensi masalah tidak berkutat pada korupsi saja melainkan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan serius. Masalah pertama adalah lemahnya kinerja kepala desa dan perangkat desa.

Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena mengacu pada pasal 66 di mana kepala desa dan perangkat desa akan mendapatkan penghasilan setiap bulan. Bagi perangkat desa yang tidak bijak menyikapinya, penghasilan bulanan tidak sebagai motivasi kerja namun sebagai hal utama yang diharapkan.

Kekhawatiran lainnya ialah kemampuan teknis yang tidak sesuai dengan tuntutan, disiplin kerja, dan keterbatasan pembuatan laporan pertanggungjawaban. Kekhawatiran itu tidak perlu terjadi ketika semua pihak memberikan apresiasi positif sesuai kapasitasnya masing-masing. “Bisa berupa pembinaan, pendampingan, dan pengawasan,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya