SOLOPOS.COM - Ilustrasi menghitung uang (Rahmatullah/JIBI/Bisnis)

Uang baru menjadi harapan baru bagi warga Indonesia di dekat perbatasan Malaysia. Selama ini, kondisi uang rupiah dianggap memalukan.

Solopos.com, PONTIANAK — Stepanus, seorang pedagang di Kecamatan Nanga Badau, Kalimantan Barat, mengaku malu bila menggunakan mata uang rupiah sebagai alat transaksi jual beli di perbatasan Malaysia.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

“Malu rasanya pakai uang rupiah karena Malaysia tidak mau terima uang kita yang putus-putus, coret-coretan dan lusuh,” kata Stepanus ketika dijumpai Bisnis/JIBI, Kamis pekan lalu.

Belum lagi, rasa malunya berubah menjadi jengkel karena seringkali warga Malaysia yang berbelanja di tokonya tidak mau menerima uang kembalian dalam bentuk rupiah dengan kondisi tak layak pakai.

“Mereka maunya uang baru. Saya juga jengkel, setiap tahun gambarnya berbeda-beda, sekarang gambar pahlawan Pattimura [pecahan Rp1.000], nanti beda lagi. Uang Malaysia dari dulu tetap sama, tidak berubah-ubah gambar,” ujar Stepanus dengan nada meninggi.

Stepanus merupakan satu di antara 6.800 penduduk Kecamatan Badau yang sama-sama tergantung dengan cipratan ringgit. Hal yang lumrah jika uang kertas dan recehan ringgit berpindah tangan dari satu pedagang ke pedagang lainnya. Maklum kecamatan itu yang hanya berjarak 15 menit dari Lubuk Antuk, sebuah di Serawak, Malaysia.

Stepanus membuka usaha sembako, warung kopi, hingga alat tulis kantor (ATK). Guna mengisi kebutuhan untuk tokonya, Stepanus lebih senang memilih berbelanja ke Malaysia ketimbang ke ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau yang butuh waktu 4 jam untuk menempuhnya.

Hartati, pemilik salah satu rumah makan di Pasar Nanga Badau juga lebih memilih berbelanja ke Malaysia untuk memenuhi stok pasokan bahan-bahan masakannya. Berbekal 1.800-2.000 ringgit atau setara dengan Rp7,5 juta, pedagang asal Jember, Jawa Timur, ini setiap akhir pekan membeli daging kambing, sapi, ayam, ikan, hingga sayur-sayuran segar, di Malaysia.

Dia pun tak memungkiri menyiapkan mata uang rupiah untuk berbelanja ke Lubuk Antuk karena ada pedagang-pedagang di Lubuk Antuk yang mau menerima rupiah. “Tapi kalau ada ringgit ya bayar [harus] pakai ringgit,” katanya.

Kepala Kantor Cabang Pembantu Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalbar, Badau Anwar, mengatakan tingkat penukaran uang di Nanga Badau sangat tinggi. Pihaknya, seringkali kelimpungan menerima permintaan penukaran uang dari warga Nanga Badau.

“Penduduk di sini sering bertukar ringgit dengan rupiah, di pasar. Untuk para pedagang biasanya lebih menginginkan uang baru pecahan Rp20.000, Rp10.000, Rp5.000 dan Rp2.000,” katanya.

Anwar mengatakan infrastruktur jalan yang rusak dan jarak yang jauh menuju kantor cabang di Kecamatan Semitau dan Putussibau menjadi penyebab lambatnya uang rupiah baru masuk ke Nanga Badau. “Dua bulan sekali ambil uang baru, paling banyak Rp5 juta.”

Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan Kalbar, Dwi Suslamanto, mengatakan pihaknya telah mengusulkan tahun ini akan menunjuk perbankan di Kota Putussibau sebagai kantor kas titipan uang. Hal itu, menurutnya, sebagai komitmen Bank Indonesia meningkatkan frekuensi penukaran uang di Nanga Badau, sebagai garda terdepan keberadaan lembaran-lembaran rupiah di tapal batas negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya