SOLOPOS.COM - Sebuah kendaraan Pertamina mengisi BBM untuk pesawat terbang di bandara Internasional Adi Soemarmo, beberapa waktu lalu. Kalangan perusahaan penerbangan mengusulkan pemberlakuan fuel surcharge yang dikenakan ke tiket penumpang untuk menjawab kondisi naiknya nilai tukar dollar AS yang mempengaruhi harga BBM pesawat terbang. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

Sebuah kendaraan Pertamina mengisi BBM untuk pesawat terbang di bandara Internasional Adi Soemarmo, beberapa waktu lalu. Kalangan perusahaan penerbangan mengusulkan pemberlakuan fuel surcharge yang dikenakan ke tiket penumpang untuk menjawab kondisi naiknya nilai tukar dollar AS yang mempengaruhi harga BBM pesawat terbang. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

Sebuah kendaraan Pertamina mengisi BBM untuk pesawat terbang di bandara Internasional Adi Soemarmo, beberapa waktu lalu. Kalangan perusahaan penerbangan mengusulkan pemberlakuan fuel surcharge yang dikenakan ke tiket penumpang untuk menjawab kondisi naiknya nilai tukar dollar AS yang mempengaruhi harga BBM pesawat terbang. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

Solopos.com, JAKARTA – Belum redanya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar serta harga gejolak harga avtur membuat kalangan asosaisi perusahaan penerbangan niaga Indonesia (INACA) berancang-ancang menerapkan biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge).

Promosi BRI Perkuat Kolaborasi Strategis dengan Microsoft Dorong Inklusi Keuangan

Sekjen INACA Tengku Burhanuddin penerapan fuel surcharge tersebut direncanakan untuk penerbangan domestik maupun internasional untuk menekan potensi pembengkakan biaya operasional. Kendati demikian, kata Tengku, persentase penerapan usulan fuel surcharge belum secara resmi diajukan kepada Kementerian Perhubungan lantaran masih menunggu respon kementerian itu terkait kondisi yang dihadapi penerbangan saat ini.

“Kami telah bersurat ke pada Kemenhub sejak 10 hari lalu, namun hingga hari ini belum ada respon. Kita menyampaikan permasalahan yang dihadapi maskapai saat ini,” ujarnya. Tengku mengatakan pihaknya telah mengirim surat kepada Kemenhub terkait pembengkakan biaya operasional maskapai niaga dalam negeri yang diakibatkan depresiasi rupiah dan harga avtur yang cenderung naik.

Menurutnya, opsi yang memungkinkan saat ini adalah pemberlakuan tarif fuel surcharge dalam mensiasati pergerakan harga avtur yang diikuti pelemahan nilai tukar rupiah. Adapun, kata Tengku, harga avtur saat ini bahkan telah mencapai di kisaran Rp12.000 per liter di bandara-bandara Timur Indonesia, sementara di depot pengisian avtur di Bandara Soekarno-Hatta di kisaran Rp10.000 per liter.

Kondisi tersebut, membuat opsi yang paling tepat adalah dengan pengajuan tarif fuel surcharge, lantaran proses revisi batas atas memerlukan proses yang panjang dan membutuhkan pertemuan berkali-kali antara INACA dan Kementerian Perhubungan. “Untuk menyiasati pembengkakan biaya operasional saat ini, adalah dengan penerapan fuel surcharge. Karena jika menunggu tiga bulan [ketentuan Permenhub 26/2010] atau bahkan sampai enam bulan kedepan untuk revisi tarif batas atas, bisa-bisa maskapai kita kolaps karena tidak adanya kebijakan efektif dari pemerintah,” katanya.

Adapun, Permenhub No26/2010 disebutkan Kemenhub melalui Direktorat Perhubungan Udara akan mengevaluasi besaran tarif setiap 1 tahun atau jika terjadi perubahan signifikan yang mempengaruhi kelangsungan kegiatan badan usaha angkutan udara. Perubahan itu diantaranya, pergerakan harga avtur bila mencapai lebih dari Rp10.000 per liter dalam 3 bulan berturut-turut atau perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan harga komponen biaya lain yang menyebabkan perubahan total biaya operasi pesawat hingga paling sedikit 10% dalam 3 bulan berturut-turut.

Tunggu Evaluasi
Sementara itu, Kemenhub menyatakan revisi tarif batas atas penerbangan berjadwal masih menunggu usulan dan evaluasi yang tengah dilakukan oleh Indonesia National Air Carriers Association (INACA). Direktur Angkutan Udara Ditjen Hubud Kementerian Perhubungan, Djoko Murjatmodjo, mengemukakan pengkajian revisi tarif batas atas baru akan dilakukan jika asosiasi perusahaan penerbangan niaga telah mengajukan usulan maupun penghitungan tarif.

“Kami belum menerima, mungkin mereka [INACA] masih menghitung-hitung semua komponen termasuk harga avtur untuk mengusulkan persentase penaikan tarif batas atas,” ujarnya, Rabu (18/9/2013). Menurutnya, setelah menerima pengajuan usulan dari INACA kemudian akan dilakukan pengkajian secara menyeluruh dengan mengacu pada Permenhub No.26/2010 tentang tarif formulasi perhitungan dan penetapan mekanisme formulasi perhitungan serta penetapan tarif batas atas penumpang pelayanan kelas ekonomi berjadwal. “Jika hasil hitung-hitungan INACA sesuai dengan hasil pengkajian kami yang mengacu pada Permenhub 26, tentu revisi tarif batas atas mesti dilakukan,” jelas Djoko.

Adapun, sejauh ini penetapan tarif batas atas tersebut terbagi pada atas tiga kategori pelayanan standar maksimum diperbolehkan menerapkan tarif 100%, layanan standar menengah sebesar 90% serta penerapan tarif 85% untuk pelayanan penerbangan standar minimum.

Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo berpendapat peninjauan kembali tarif batas atas untuk penerbangan berjadwal sudah saatnya dilakukan dengan pertimbangan potensi pembengkakan biaya operasional maskapai yang diikuti pelemahan nilai tukar rupiah serta fluktuasi harga avtur.

Namun, lanjutnya, perhitungan secara detail mesti dilakukan pemerintah untuk menentukan besaran persentase revisi tarif batas atas agar maskapai lebih transparan dalam menentukan harga tiket pesawat. “Ini juga yang sering terjadi, saat harga avtur naik, maskapai menaikkan harga [tiket], tetapi jika harga avtur turun kembali, [harga]tiket tetap,” kata Dudi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya