SOLOPOS.COM - Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9/2015). (Antara)

Freeport Indonesia ternyata menyatakan tak ingin sengketa kontrak karya sampai ke arbitrase internasional.

Solopos.com, JAKARTA — PT Freeport Indonesia menyatakan tidak berharap sengketa kontrak karya berujung ke arbitrase karena upaya tersebut dinilai akan merugikan, baik bagi pihak Freeport maupun pemerintah. Pernyataan ini mengejutkan mengingat wacana ke arbitrase dimunculkan oleh CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C Adkerson beberapa waktu lalu.

Promosi Simak! 5 Tips Cerdas Sambut Mudik dan Lebaran Tahun Ini

SVP Geo Engineering PTFI Wahyu Sunyoto mengatakan, PTFI masih menolak untuk merubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Freeport masih akan bernegosiasi dengan pihak pemerintah untuk mencari win-win solution.

“Arbitrase jangan sampai terjadi. Pemerintah memberi waktu 6 bulan, kami akan memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya,” kata Wahyu dalam diskusi Kageogama dan IAGI-MGEI di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (20/3/2017).

Wahyu mengatakan akibat polemik tersebut stok konsentrat menumpuk dan produksi bijih mineral terpaksa dipangkas. Situasi saat ini dianggap berbahaya bagi kelanjutan operasi dan produksi di tambang Grasberg. Cadangan di tambang bawah tanah bisa hilang tertimbun akibat terganggunya kegiatan produksi.

Dia menjelaskan tambang bawah tanah tersebut menggunakan metode block caving. Terowongan dibuat dengan meledakkan badan bijih hingga hancur di dalam tanah. Kemudian menariknya keluar secara bertahap. Pekerja juga harus memperhatikan tegangan di bawah tanah agar tidak ambruk.

Dalam metode block caving, penggalian diibaratkan dengan maintenance. Ketika produksi terganggu, berarti perawatannya juga kurang. Badan bijih yang sudah dihancurkan di dalam tanah tetapi tidak segera ditarik keluar akan menciptakan akumulasi tekanan. Baca juga: Pemerintah Terbitkan Rekomendasi Ekspor Freeport.

“Kalau sampai terjadi penghentian, panel produksi tambang runtuh dan tidak bisa diambil lagi cadangannya. Selain itu juga harus ada maintenance. Karena jika curah hujan tinggi, cadangan tidak bisa diambil,” jelasnya.

Risiko seperti ini diharapkan tidak kembali terjadi seperti pada 2011 silam. Saat itu, aktivitas penambangan terhenti karena pekerja melakukan mogok kerja selama berbulan-bulan. Hal ini menyebabkan 20% cadangan tidak bisa diambil lagi.

Bahkan, resiko yang paling berbahaya ialah tambang bawah tanah longsor. Bijih mineral mengeras dan membuat tekanan di dalam tanah membesar. Hal ini bisa membuat terowongan bawah tanah ambruk dan mengalami kerugian senilai triliunan rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya