SOLOPOS.COM - Dokter Wahidin Sudirohusodo (arsipdigital.net)

Solopos.com, JAKARTA–Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, mengukuhkan kapal baru milik TNI Angkatan Laut Indonesia yang dinamai KRI Wahidin Sudirohusodo-991 sebagai kapal bantu Rumah Sakit TNI AL.

Dikutip dari laman kemhan.go.id, pengukuhan tersebut dilaksanakan di Dermaga Pondok Dayung, Jakarta Utara pada Kamis (3/11/2022).

Promosi BRI Sambut Baik Keputusan OJK Hentikan Restrukturisasi Kredit Covid-19

Kehadiran KRI dr. Wahidin Sudirohusodo-991 diharapkan dapat menjadi armada pendukung layanan kesehatan baik di darat, alut, maupun udara, serta dapat mendukung setiap kegiatan operasi militer yang dilangsungkan oleh TNI.

KRI dr. Wahidin Sudirohusodo
KRI dr. Wahidin Sudirohusodo (kemhan.go.id)

Pemilihan nama kapal buatan PT PAL Indonesia tersebut dipilih untuk menghormati dan mengingat jasa Pahlawan Nasional Indonesia, dr. Wahidin Sudirohusodo. Lantas, siapakah sosok dr. Wahidin Sudirohusodo hingga namanya diabadikan sebagai nama KRI?

Dr. Wahidin Sudirohusodo merupakan seorang dokter yang dulu pernah mengabdikan dirinya untuk membantu rakyat. Sebagaimana dilansir dari kanal youtube Royal Blood of Kings, Wahidin lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta pada 7 Januari 1852.

 Ayah Wahidin, Arjo Soediro, datang dari keluarga terpandang yang berasal dari Desa Bagelen, Jawa Tengah. Diketahui Ayahnya merupakan seorang Wedana di Mlati.

Dahulu, seorang wedana berhak mendapatkan hak kelola tanah yang disebut sebagai tanah lungguh sebagai imbalan kedudukan yang dimilikinya. Atas hal tersebut, masyarakat di sekitar Mlati menganggap ayah Wahidin merupakan seorang petani yang makmur.

Wahidin dapat dikatakan beruntung. Bagaimana tidak? Di masa sulitnya mengakses pendidikan, Wahidin justru dapat mengenyam pendidikan dengan sangat baik. Ia memulai pendidikannya di bangku Sekolah Angka Loro atau De Scholen der Tweede Klasse.

Sekolah tersebut diperuntukkan bagi anak-anak bumiputra dari kalangan priyayi kecil, petani, dan buruh. Wahidin dikenal cerdas sejak kecil.

Usai 3 tahun menempuh pendidikan di De Scholen der Tweede Klasse, Wahidin kemudian direkomendasikan gurunya untuk melanjutkan sekolah ke Europeesche Lagere School (ELS) pada 1864.

Masuknya Wahidin ke ELS juga tak lepas dari bantuan  kakak iparnya yang merupakan seorang Belanda, Frits Kohle.

Diketahui, ELS merupakan sekolah khusus anak-anak Eropa. Adapun bagi Bumiputra hanya  dari kalangan priyayi tinggi saja yang diizinkan bersekolah di ELS.

Wahidin yang hadir dari kalangan priyayi kecil mulanya diremehkan oleh teman-teman sekolahnya di ELS. Akan tetapi atas kecerdasannya, Ia mampu menepis anggapan buruk dari teman-temannya. Ia bahkan menjadi lulusan terbaik di ELS.

Wahidin kemudian berkesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran yang didirikan di Jawa pada 1851, School tot Opleiding van Insiche Artsen (STOVIA).

Ia berhasil lulus dari STOVIA hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun, tepatnya 22 bulan. Atas prestasinya itu, Ia kemudian dipercaya untuk menjadi asisten pengajar.

Meskipun pandai, Wahidin dikenal mudah bergaul dengan siapa saja. Itulah yang membuatnya disukai oleh banyak orang.

Dari luasnya lingkaran pertemanan yang Ia miliki membuat Wahidin kemudian lebih sadar akan keadaan lingkungan di sekitarnya. Terutama keadaan rakyat yang menderita akibat penjajahan Belanda.

Kebaikan dan kemuliaan hatinya lantas membawanya yang telah berprofesi sebagai dokter ketika itu hadir memberikan bantuan pengobatan bagi masyarakat yang membutuhkan. Hebatnya lagi, semua itu dilakukan tanpa mengaharapkan imbalan apapun.

Tak hanya dengan membantu melakukan pengobatan, kesederhanaan dan keramahan Wahidin juga tergambar dengan bergabungnya Ia dalam sebuah kelompok budaya penabuh gamelan dari kalangan biasa.

Wahidin lantas mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai asisten pengajar di STOVIA dan berpindah ke Yogyakarta untuk menjadi pegawai kesehatan. Pengabdiannya sebagai Dokter Rakyat membuat Wahidin semakin dekat dengan masyarakat.

Dari pengamatannya selama berada di tengah masyarakat, Wahidin menyimpulkan bahwa jika ingin merdeka, maka Indonesia perlu mengatasi berbagai permasalahan seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.

Sehingga, tak hanya menjadi seorang dokter, Wahidin juga bergerak dan berjuang dalam meningkatkan pendidikan masyarakat. Perjuangannya dimulai dengan mempublikasikan gagasannya dalam memajukan sumber daya manusia di berbagai media.

Pada 1895 Wahidin lantas membangun sebuah surat kabar sendiri yang dinamai Retnodhoemilah yang terbit setiap hari Selasa dan Jumat. Dalam Retnodhoemilah, berbagai tulisan terkait budaya dan filsafat banyak dituangkan olehnya bersama dengan dr. Radjiman.

Ia juga menerbitkan sebuah majalah berbahasa Jawa yang dinamai Goeroe Desa pada 1901. Dari majalah tersebut Ia berharap agar dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat desa terakit dunia pertanian dan kesehatan.



Pada 1907, Wahidin mengunjungi STOVIA yang mempertemukannya dengan Soetomo, Soeradji, dan beberapa mahasiswa lain. Perjuangan Wahidin dalam memperhatikan pendidikan di Indonesia ternyata membuat adik-adik kelasnya terkesan.

Terinspirasi dari sepak terjang Wahidin, pada 20 Mei 1908, Soetomo, Soeradji, bersama Goenawan Mangoenkoesoemo kemudian mendirikan sebuah organisasi pendidikan yang diberi nama Boedi Oetomo.

Diceritakan, Wahidin juga sempat melakukan ekspedisi keliling Jawa untuk menggalang dana yang ditujukan untuk mengakomodasi pendidikan anak-anak Indonesia.

Berbagai penolakan sempat didapat Wahidin hingga akhirnya secercah harapan datang dari Bupati Serang, Akhmad Jayadiningrat yang menyanggupi memberikan dukungan pada lembaga tersebut.

Akhirnya, pada 1913, Wahidin dibantu teman-temannya, Pangeran Notodirojo, Dwidjosewoyo, Sosrosugondo, dan RM Budiardjo mendirikan sebuah Lembaga Beasiswa Darmoworo.

Dr. Wahidin Sudirohusodo tutup usia pada16 Mei 1917. Jenazahnya dimakamkan di daerah asalnya, Mlati, Yogyakarta. Sebagai apresiasi dan penghargaan atas seluruh jasa dr. Wahidin Soedirohoesodo, pemerintah Republik Indonesia memberikannya gelar Pahlawan Nasional sesuai dengan Keppres No. 88/TK/1973 pada 6 November 1973.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya