SOLOPOS.COM - Koran Solopos edisi akhir pekan yang terbit Sabtu (29/7/2023).

Solopos.com, SOLO—Penyitaan sejumlah lahan di kawasan Benteng Vastenburg Solo oleh Kejaksaan Agung karena terkait kasus korupsi yang menjerat pengusaha Benny Tjokrosaputro ditindaklanjuti oleh sejumlah pihak yang mengharapkan kawasan itu bisa kembali menjadi milik publik sepenuhnya. Hal itu diulas dalam berita headline di Koran Solopos edisi akhir pekan yang terbit hari ini, Sabtu (29/7/2023).

Diberitakan Solopos hari ini, Komisi I DPRD Solo misalnya, menggelar rapat kerja bersama sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkot Solo dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Solo membahas lahan Benteng Vastenburg, Jumat (28/7/2023).

Promosi BRI Kantor Cabang Sukoharjo Salurkan CSR Senilai Lebih dari Rp1 Miliar

Ketua Komisi I DPRD Solo, Suharsono, seusai rapat mengungkapkan kabar gembira. “Ada kans tidak dilelang, tapi menjadi aset Pemkot. Ada peluang hukum menjadikan itu aset Pemkot Solo,” ungkap dia.

Suharsono menjelaskan agar aset tanah yang dilelang itu bisa menjadi aset Pemkot Solo, harus segera dilakukan koordinasi dengan Kejaksaan. Pemkot Solo mesti mengajukan permintaan agar bidang tanah itu tidak dilelang.

“Bagian Hukum dan Aset bersinergi dengan Kejaksaan, nututi, minta jangan dilelang, tapi dihibahkan. Karena ini belum, baru warning saja. Pemkot Solo bisa memohon itu karena aset sudah jadi tanah negara bebas,” urai dia.

Suharsono berpendapat mestinya Kejaksaan tak bisa menyita bidang tanah di Benteng Vastenburg seperti yang dilakukan. Sebab hak guna bangunan (HGB) tanah-tanah itu sudah habis pada 2012 dan menjadi tanah negara bebas.

Selengkapnya simak di Harian Umum Solopos yang terbit hari ini, Sabtu (29/7/2023), atau dengan mengakses koran.solopos.com.

Wujud Syukur Lewat Jenang Suran

Banyak cara menyatakan rasa syukur kepada Tuhan, salah satunya dengan membagikan makanan, seperti tradisi pembagian Jenang Suran di Masjid Agung Keraton Solo kepada masyarakat.

Tradisi ini berakar turun temurun di Dinasti Mataram Islam sebagai simbol rasa syukur serta pengharapan atas keselamatan dan kemudahan hidup yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Pembagian dilakukan di halaman Masjid Agung Keraton Solo, Jumat (28/7/2023).

Jenang suran yang terbuat dari bubur beras yang dicampur santan dimasak di dandang, lalu dituangkan ke tampah bambu yang diberi alas daun pisang. Ratusan warga tampak mengantre untuk mendapatkan Jenang Suran yang dibagikan satu takir per orang.

Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, K.G.P.H. Dipokusumo mengatakan tradisi Jenang Suran bagian dari menghormati leluhur Dinasti Mataram Islam. Sebelum dibagikan kepada masyarakat, Jenang Suran didoakan terlebih dahulu. Doa tersebut berisi rasa syukur dan berbagai pengharapan manusia agar selalu diberi keselamatan dan kemudahan dalam menjalani hidup.

Asisten II Sekretaris Daerah Kota Solo Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Gatot Sutanto, mengapresiasi kegiatan pembuatan dan pembagian Jenang Suran kepada masyarakat. Tradisi itu sangat identik dengan budaya Jawa yang dilestarikan secara turun temurun. “Ini tradisi turun temurun sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo. Dulu, namanya jenang panggul. Dari beras juga, tidak ada bedanya,” ujar dia.

Selengkapnya simak di Harian Umum Solopos yang terbit hari ini, Sabtu (29/7/2023), atau dengan mengakses koran.solopos.com.

Desa Kiringan Boyolali Terkait dengan Ponorogo

Meski terletak di wilayah Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, ternyata Desa Kiringan memiliki sangkut paut dengan Kabupaten Ponorogo di Jawa Timur. Keterkaitan itu terutama dengan adipati pertama sekaligus pendiri Ponorogo, Joko Piturun atau Bathara Katong.

Kades Kiringan, Sri Wuryanto, mengungkapkan hal tersebut berdasarkan cerita tutur masyarakat turun temurun. Ia menjelaskan nama Kiringan berasal dari kata “kairingan” yang mengacu pada kata “pengiring.”

Menurut kisah yang dikutip Sri Wuryanto, suatu hari Sunan Kalijaga bersama muridnya, Kyai Muslim, melaporkan penyelidikan mereka kepada Sultan Demak mengenai tokoh bernama Demang Kutu yang berada di wilayah Wengker atau Ponorogo.

Demang Kutu disebut sedang membangun pusat peradaban baru yang dianggap berpotensi mengganggu eksistensi Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Demak Bintoro yang notabene adalah penerus Kerajaan Majapahit dengan warna Islam.

Kemudian, ujar Sri, untuk kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan putra terbaiknya yaitu Bathara Katong untuk memerangi Demang Kutu. Bathara Katong merupakan putra dari pernikahan Prabu Brawijaya V dengan selir berdarah Campa [kini menjadi bagian Kamboja] yang beragama Islam.

Selengkapnya simak di Harian Umum Solopos yang terbit hari ini, Sabtu (29/7/2023), atau dengan mengakses koran.solopos.com.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya