SOLOPOS.COM - Koran Solopos edisi Senin (3/7/2023).

Solopos.com, SOLO–Harian Umum Solopos hari ini mengangkat headline tentang  moda transportasi Batik Solo Trans (BST) yang tak jadi digratiskan untuk warga berkebutuhan khusus atau difabel. Mereka tetap harus membayar dengan tarif khusus sama seperti pelajar, mahasiswa, dan orang lanjut usia (lansia).

Diberitakan Solopos hari ini, kebijakan soal BST itu berlangsung per Sabtu (1/7/2023). Kepala Seksi (Kasi) Angkutan Dinas Perhubungan (Dishub) Solo Dwi Sugiarso mengatakan tarif Rp0 bagi penumpang berkebutuhan khusus tidak jadi diterapkan karena Kementerian Perhubungan (Kemenhub) meneruskan kebijakan Kementerian Keuangan yang memberlakukan tarif khusus Rp2.000 per orang.

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

Menurut dia, kebijakan itu belum termasuk Rp0 bagi penumpang penyandang disabilitas. Surat Kemenhub itu dikirim Selasa (27/6/2023) dan diterima Dishub Solo, Rabu (28/6/2023) bersamaan dengan cuti bersama Iduladha 2023.

Dwi menjelaskan semula Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka meminta tarif Rp0 untuk penumpang berkebutuhan khusus. Gibran membuat nota Dinas Wali Kota Solo  jauh hari sebelum pemberlakuan tarif khusus pada awal Juli ini.

“Dari rapat-rapat Kementerian Perhubungan menyetujui. Namun ternyata yang menentukan PNBP [Penerimaan Negara Bukan Pajak] Kementerian Keuangan [Kemenkeu]. Kementerian Keuangan baru menyetujui tarif khusus, tak menyebutkan pelajar, orang lansia, atau orang berkebutuhan khusus,” katanya, Minggu (2/7/2023) sore.

Dwi mengatakan untuk mewujudkan tarif Rp0 bagi penumpang warga difabel harus ada surat kepada Kemenkeu. Namun persyaratan yang diminta Kemenkeu itu ranah Kemenhub, bukan Pemkot Solo.

Untuk bisa mendapatkan fasilitas tarif khusus yang berlaku bagi pelajar, mahasiswa, orang lansia, dan penyandang disabilitas sebesar Rp2.000 pengguna harus terlebih dahulu mendaftar dan mengaktivasi kartu tarif khusus BST.

Simak selengkapnya di Harian Umum Solopos edisi hari ini, Senin (3/7/2023).

Peringatan dari Gempa Bantul

WONOGIRI — Meski berpusat di lepas pantai Bantul, DIY, namun gempa yang terjadi pada Jumat (30/6/2023) malam lalu merusakkan sedikitnya 210 bangunan di Wonogiri. Mayoritas bangunan rusak ringan dan tidak ada korban jiwa atau luka.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wonogiri, Trias Budiono, mengatakan pihaknya sudah menginventarisasi dan mengidentifikasi bangunan rusak. “Sukarelawan sudah membantu untuk evakuasi dan memperbaiki kerusakan itu,” kata Trias saat dihubungi Espos, Minggu.

Trias melanjutkan berdasarkan tingkat keparahan, ada tiga bangunan yang rusak berat, 38 bangunan rusak sedang, dan 159 bangunan rusak ringan. Kecamatan Giritontro menjadi yang paling banyak mengalami bangunan rusak yaitu sebanyak 67 bangunan.

BPBD Wonogiri sudah menyalurkan bantuan logistik kepada sejumlah korban. Pihaknya belum bisa memastikan berapa jumlah jiwa yang terdampak berikut kerugian materialnya. Kendati begitu, banyak dari bangunan yang rusak itu sudah tertangani relawan Desa Tanggap Bencana (Destana) di desa masing-masing.

Trias menyampaikan, karena berada di perbatasan antara Jawa Timur dan DIY, Wonogiri memang rawan terdampak gempa apabila di dua daerah itu terjadi gempa.

“Kami sudah beri edukasi kepada relawan-relawan soal mitigasi gempa. Saat ini, dari 249 desa, masih ada 70 desa yang belum memiliki Destana. Ke depan kami akan dorong semua desa memiliki Desatan mengingat Wonogiri jadi wilayah zona merah bencana,” ujar dia.

Simak selengkapnya di Harian Umum Solopos edisi hari ini, Senin (3/7/2023).

Jejak Pergerakan Antikolonialisme di Kota Solo

Kota Solo tak hanya menjadi ibu kota salah satu pecahan kerajaan Mataram Islam yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan pecahan wilayah lainnya yaitu Kadipaten Mangkunegaran.

Di kota ini juga berlangsung aktivitas pergerakan akar rumput untuk melawan kolonialisme Belanda. Tokoh-tokoh pergerakan nasional banyak yang muncul dari Solo dan berusaha melawan dominasi kekuasaan kolonial.

Hal itu disampaikan sejarawan dan pendiri Roemah Buku Jogja, Muhidin M. Dahlan ketika membedah buku Zaman Bergerak karya sejarawan Jepang, Takeshi Shiraishi dalam acara Festival Literasi dan Pasar Buku Nusantara Patjarmerah di Dalem Djojokoesoeman, Gajahan Pasar Kliwon, Sabtu (1/7/2023).

Muhidin mencontohkan lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menjadi cikal bakal Sarekat Islam. Dia menyebut SDI bermula dari persaingan para pedagang batik etnis Jawa dengan pedagang dari peranakan etnis Tionghoa.

“Sehingga ada pertikaian antara dua kampung yang sama-sama memproduksi batik, Laweyan dan Kauman. Konteks pertikaiannya karena ekonomi, mereka bersaing agar batik laku di pasaran,” jelas dia. SDI didirikan di Kampung Sondakan, Laweyan pada 1905 oleh pengusaha Samanhudi yang juga seorang saudagar batik asli Solo. Pada mulanya SDI memang dibentuk untuk memperkuat jejaring para saudagar batik dan memenangkan persaingan pasar.

Simak selengkapnya di Harian Umum Solopos edisi hari ini, Senin (3/7/2023).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya