SOLOPOS.COM - Setyaningsih (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Cara seseorang memandang dan menjalani kehidupan selalu memunculkan banyak pertanyaan tentang di keluarga seperti apa ia tumbuh. Dalam naungan keluargalah mula-mula seorang anak diasah, diasih, dan diasuh—tidak hanya kebutuhan biologis dipenuhi, tetapi juga hak emosional diisi.

Seperti halnya dunia luar yang nanti mereka hadapi yang dipenuhi konflik sekaligus harmoni, jalan pengasuhan tidak luput dari suka sekaligus nelangsa. Pengasuhan menentukan pembentukan mental, spiritual, dan intelektual.

Promosi Wealth Management BRI Prioritas Raih Penghargaan Asia Trailblazer Awards 2024

”Bahan yang terkumpul di sini, beserta informasinya merupakan suatu harta karun yang tak terduga dan mungkin juga tidak ternilai. Namun, bagian yang paling berharga ialah sumbangan-sumbangan yang bersifat otobiografis. Saya kira jarang terdapat di Indonesia suatu kumpulan pengungkapan jiwa dan pengalaman pribadi yang seperti yang sekarang terkumpul.”

”[…] Biarpun gaya literairnya tidak tinggi, namun kemampuannya untuk menimbulkan rasa haru dan menghanyutkan si pembaca ke dalam arus kejadian dan perasaan yang digambarkan, karangan-karangan itu merupakan documente humaine.”

”Di samping itu, otobiografi-otobiografi ini menunjukkan betapa sulitnya kehidupan rakyat kecil dalam gelombang kisaran jaman yang sudah-sudah ini. Betapa sulit… dan betapa kuatnya motivasi mereka untuk maju.”

Tiga paragraf di atas, dikutip secara verbatim, adalah kesan Soedjatmoko, satu dari dewan juri sayembara menulis esai biografis bertema pola pengasuhan Anak Indonesia: Sepanjang Jalur Asuhan yang diselenggarakan oleh Yayasan Masdani dan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Berkolaborasi dengan UNICEF dan Kelompok Kerja Kesejahteraan Anak-Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, sayembara itu menandai peringatan Tahun Internasional Anak 1979. Beberapa esai terpilih diterbitkan dulu di Jurnal Prisma edisi Oktober 1979.

Penerbitan esai sayembara dalam buku Perjalanan Anak Bangsa: Asuhan dan Sosialisasi dalam Pengungkapan Diri (1982) melanjutkan upaya membaca dan membentangkan pengalaman tentang bagaimana anak Indonesia diasuh dan dibesarkan dalam keragaman kultural, sosial, ekonomi, dan agama.

Satu esai menarik berjudul Dari Kenakalan ke Kedewasaan ditulis oleh Muliawan. Ketiadaan ibu dan bapak memunculkan lubang kehidupanm pada masa kanak-kanak. Pengasuhan Muliawan dialihkan kepada kakek dan nenek karena orang tunya harus bertugas di luar negeri.

Kakek tentu punya otoritas mengatur sang cucu harus bersekolah, bahkan untuk urusan kecil: harus tidur siang. Aturan menciptakan pemberontakan dan pemberontakan menerbitkan hukuman yang meninggalkan bekas secara batiniah,

”Seolah-olah aku dididik untuk tidak boleh bicara apa-apa sebab itu bisa diidentikkan dengan melawan,” begitu salah satu kalimat yang ditulis Muliawan. Ia  mendapat predikat anak nakal meski prestasi akademis membanggakan.

Rumah justru tidak menjadi tempat yang menyenangkan untuk bernaung. Anak nakal bukan karena tindakan. Orang-orang sekitar yang sering bersikap tidak adil sejak dalam pikiranlah yang membuat anak menjadi nakal. Setiap yang diperoleh anak dari masa pengasuhan menentukan bagaimana ia menjadi seseorang nantinya.

Soedjatmoko memang tidak secara langsung menempatkan pengasuhan sebagai tema pokok dari bentang pemikirannya. Namun, pemikiran tentang pembangunan, lingkungan, ekonomi, kemiskinan, atau keberagaman ditopang percik-percik pemikiran tentang keluarga, anak, dan pengasuhan.

M. Nursam dalam buku Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjatmoko (2002) menjelaskan masa pengasuhan keluarga secara personal jelas sangat menentukan pengembaraan intelektual dan humanisme Soedjatmoko.

Salah satu taklik disampaikan oleh sang bapak, Saleh Mangundiningrat, ketika Soedjatmoko berumur 14 tahun. Salah Mengundiningrat berkata kepada Soedjatmoko jangan berharap mendapatkan warisan (harta benda) kalau dirinya meninggal.

”Saya mencoba memberi kepadamu pendidikan sebaik-baiknya,” kata Saleh Mangundiningrat kepada Soedjatmoko. Masa remaja ibarat memasuki perairan asing, tetapi taklik merupa kompas yang mengarahkan pelayaran diri—salah satunya anutan pada nilai-nilai humanisme menuju dunia dewasa.

Sekalipun Soedjatmoko mengalami krisis karena protes kepada aturan fasis pemerintah Jepang sekaligus dipenjara sebagai konsekuensi, fondasi yang ditanam selama pengasuhan turut membawa kesadaran dan penemuan diri yang baru.

Mutu Anak

Pemikiran Soedjatmoko memang mendapat konteksnya pada masa pembangunan. Negara sedang menghadapi banyak tantangan dan tekanan. Pemerintahan Presiden Soeharto melihat pengendalian kelahiran sebagai jalan peningkatan kesejahteraan keluarga.

Majalah penelitian sosial Cakrawala Nomor 1 Tahun 1979 memuat tulisan Soedjatmoko berjudul Anak dalam Perencanaan Pembangunan. Pelbagai rintangan dalam pembangunan—modernisasi, perubahan sosial, peningkatan populasi, gizi dan pangan—menujukkan betapa mendesak kebutuhan memenuhi hak anak.

Soedjatmoko menulis bahwa keberhasilan dan kegagalan kita dalam menangani kebutuhan anak, terutama di kalangan yang paling miskin, akan menentukan apakah secara permanen kita akan mempunyai satu kelas kolong terdiri dari warga-warga kelas dua yang tidak pernah dan mungkin tidak akan mendapat kesempatan untuk mengembangkan secara penuh potensi manusiawinya.

Menurut Soedjatmoko, mereka seolah-olah terhukum menjadi satu golongan besar manusia yang terbelakang dalam pengembangan fisik, mental, psikologi, dan sosial. Masa depan bangsa dan negara ditentukan oleh mutu anak-anak—kesehatan, intelektual, pergaulan, dan emosi.

Soedjatmoko membentangkan kebijakan para perancang pembangunan memenuhi hak anak di negara-negara Asia yang cenderung miskin, seperti Indonesia, India, Bangladesh, dan Pakistan. Meski kesetaraan terus diserukan, ibu masih dominan sebagai pengasuh utama seorang anak.

Soedjatmoko mengusulkan, misalnya, program terkait gizi dan pangan atau teknologi sederhana agar lebih tangkas memberesi pekerjaan rumah tangga. Hal ini tidak hanya berdampak pada ikatan ibu dan anak. Ini juga menyangkut keterampilan dan usaha mikro yang membantu perekonomian keluarga.

Di banyak wilayah miskin, ibu dan anak sering menempati posisi paling terpinggirkan. Program yang dirancang dari pengalaman-pengalaman yang berpusat pada rumah atau keluarga bisa menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional.



Pengasuhan adalah wilayah penempaan hakikat hidup bersosial, spiritual, intelektual, humanis, dan kebangsaan. Hak-hak anak (seharusnya) dipenuhi tanpa memandang ras, agama, status sosial, bahkan ciri fisik.

Saya menyepakati pernyataan Soedjatmoko tentang anak, bahwa dia adalah suatu dunia tersendiri yang sedang dalam proses menjadi dewasa dan yang akan harus mampu menemukan dirinya sendiri agar ia sanggup berhubungan secara kreatif dengan lingkungannya, dan dengan penuh pengertian, ketulusan hati, dan persahabatan dengan orang-orang lain (Cakrawala Nomor 1 Tahun 1979).

Pengasuhan bagi seorang anak terjadi sekali. Itu tidak bisa direvisi. Pengasuhan yang buruk bisa berulang bahkan terus-menerus diwariskan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Oktober 2022. Penulis adalah emerging writer di Ubud Writers and Readers Festival 2021 dan penulis buku Kitab Cerita 2 (2021))

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya