SOLOPOS.COM - Foto diduga penangkapan Ahmad Dhani yang beredar di media sosial, Jumat (2/12/2016) lalu. (Istimewa/Twitter)

Kapolri menjelaskan dugaan makar tak mesti memakai senjata.

Solopos.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan upaya makar tidak harus menggunakan senjata, akan tetapi bisa berupa upaya atau permufakatan jahat untuk menduduki Gedung DPR/MPR secara paksa. Hal itu dikemukakan Tito dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (5/12/2016).

Promosi BRI Catat Setoran Tunai ATM Meningkat 24,5% Selama Libur Lebaran 2024

Dalam rapat itu, Kapolri menjawab pertanyaan sejumlah anggota Komisi III DPR terkait penangkapan 11 aktivis demokrasi termasuk Rahmawati Soekarnoputri dan Sri Bintang Pamungkas menjelang Aksi Bela Islam III pada 2 Desember lalu. Selain itu ada juga nama Ahmad Dhani yang dituduh menghina Presiden jokowi sebagai simbol negara.

Kapolri beralasan bahwa penangkapan itu dilakukan bedasarkan bukti permulaan yang meyakinkan. Namun, Tito tidak memerinci seperti apa bukti permulaan tersebut. “Upaya menduduki DPR secara paksa itu adalah upaya tidak sah dalam permufakatan jahat untuk makar. Jadi tidak harus menggunakan senjata,” ujarnya.

Dia menambahkan, sebelumnya para aktivis itu telah mengadakan sejumlah pertemuan. Menurutnya, upaya untuk mengajak orang menduduki Gedung DPR/MPR merupakan tindakan inkonstitusional sehingga Polri harus bertindak. Kemudian, setelah ada bukti permulaan yang cukup, Polri melakukan penangkapan untuk selanjutnya dilakukan proses hukum.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan pihak Polri telah menggunakan hukum di luar hukum Indonesia dalam memproses kasus dugaan makar dan penghinaan simbol negara. Menurutnya, tidak ada satupun aturan hukum Indonesia yang bisa diterapkan pada para aktivis-aktivis tersebut.

“Kita harus tanya kepada para penyidik mereka menggunakan hukum dari mana dan hukum apa. Aturan penghinaan terhadap simbol negara maupun makar tidak seperti yang dituduhkan polisi terhadap para aktivis tersebut,” ujar Margarito.

Menurut Margarito, tidak ada satupun pasal, ayat, huruf atau kata yang menyebut presiden sebagai lambang negara. “Makanya kalau mereka yang jelas aparat penegak hukum mengatakan bahwa Jokowi sebagai presiden adalah lambang negara, maka UU dari mana yang mereka gunakan?,” ujarnya.

Menurutnya, simbol negara itu adalah bendera, bahasa, lambaga negara, dan lagu kebangsasaan. Sementara lambang negara itu Garuda Pancasila,” ujarnya.

Sedangkan soal tuduhan makar, Margarito juga heran dengan alasan maupun logika aparat penegak hukum dari kepolisian. Margarito mempertanyakan apa yang salah dari orang meminta MPR bersidang agar kembali merubah UUD, sehingga mereka disebut makar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya