SOLOPOS.COM - Ferdy Sambo, terdakwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua atau Brigadir J, menjalani sidang vonis di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). (tangkapan layar Youtube)

Solopos.com, JAKARTA–Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyimpulkan Ferdy Sambo turut menembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Hal itu terungkap saat ketua majelis hakim Wahyu Imam Santoso  membacakan surat putusan saat sidang agenda vonis terdakwa pembunuhan berencana Ferdy Sambo di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

“Majelis hakim memperoleh keyakinan yang cukup bahwa terdakwa telah melakukan penembakan terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan menggunakan senjata api jenis Glock yang pada waktu itu dilakukan terdakwa dengan menggunakan sarung tangan,” ujar Wahyu Iman Santoso membacakan pertimbangan-pertimbangan saat sidang putusan Ferdy Sambo.

Majelis hakim memperoleh keyakinan tersebut berdasarkan keterangan Ferdy Sambo yang menjelaskan momen sebelum Sambo menciptakan skenario tembak-menembak.

Selain itu berdasar kesaksian mantan ajudan Sambo, Adzan Romer, yang menyatakan bahwa ia melihat Sambo menjatuhkan senjata jenis HS yang kemudian dimasukkannya ke dalam saku kanan celana pakaian dinas lapangan (PDL) Sambo dan mengenakan sarung tangan hitam.

Keyakinan hakim juga diperkuat dengan kesaksian mantan Kasubnit 1 Reskrimum Polres Metro Jakarta Selatan Rifaizal Samual yang menyebut Sambo membawa senjata api di dalam holster yang ada di pinggang sebelah kanan Sambo pada saat olah tempat kejadian perkara (TKP), serta kesaksian Richard Eliezer atau Bharada E.

Selain keterangan Sambo dan sejumlah saksi, kesimpulan majelis hakim tersebut juga didasari oleh keterangan sejumlah ahli yang dihadirkan di muka persidangan.

Salah satunya, keterangan ahli pemeriksa forensik muda Fira Samia yang menyatakan penggunaan sarung tangan dapat mencegah tertinggalnya DNA dalam barang. Padahal, menurut Fira Samia, pihaknya hanya dapat mengidentifikasi sidik jari Brigadir J pada senjata HS tersebut.

Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan keterangan ahli forensik dan medikolegal Farah Primadani yang menyatakan ada tujuh luka tembak masuk dan enam luka tembak keluar di tubuh jenazah Brigadir J.

Dengan demikian, menurut Hakim, ada tujuh tembakan yang masuk pada tubuh Brigadir J. Sementara itu, senjata milik Bharada E yang hanya berkapasitas maksimal 17 peluru serta tak pernah diisi maksimal, masih menyisakan sebanyak 12 peluru.

“Maka dapat disimpulkan, adanya dua atau tiga perkenaan tembakan yang bukan merupakan perbuatan saksi Richard,” ujar Wahyu Iman Santoso.

 

Tepis Motif Kekerasan Seksual terhadap Putri Candrawathi

Majelis hakim juga menyimpulkan Yosua tidak melakukan pelecehan atau kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi.

Hakim menilai tidak ada fakta yang mendukung Putri Candrawathi mengalami stres setelah mendapatkan tindak pelecehan atau kekerasan seksual. Oleh karena itu, majelis hakim menepis motif pembunuhan terhadap Yosua lantaran adanya kekerasan seksual.

Pantauan Solopos.com pada tayangan siaran langsung sidang vonis Ferdy Sambo yang ditayangkan KompasTV melalui Youtube, majelis hakim memiliki sembilan pertimbangan dalam menyimpulkan fakta bahwa tidak terjadi pelecehan/kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi.

Pertimbangan itu seperti dengan penjelasan mengenai relasi kuasa antara Putri Candrawathi dengan Yosua, ketergantungan secara ekonomi, dan tidak adanya upaya Ferdy Sambo melakukan visum terhadap istrinya, Putri Candrawathi.

Selain itu, menurut majelis hakim Putri Candrawathi yang merupakan seorang dokter harusnya mengetahui apa yang harus diperbuat ketika mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.

Majelis hakim juga merasa tidak menemukan fakta yang mendukung Putri Candrawathi mengalami stres setelah dilecehkan atau mendapatkan tindakan kekerasan seksual.

“Majelis hakim tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah melakukan pelecehan seksual atau perkosaan atau bahkan perbuatan yang lebih dari itu kepada Putri Candrawathi,” ucap Wahyu dalam sidang pembacaan pertimbangan putusan.

Dia menjelaskan terkait dengan konteks relasi antargender, Putri Candrawathi yang saat itu merupakan istri dari Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo memiliki posisi yang lebih unggul dan juga dominan apabila dibandingkan dengan Yosua.

“Sehingga, karena adanya ketergantungan relasi kuasa dimaksud, sangat kecil kemungkinannya korban melakukan kekerasan seksual atau pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi,” ujar Wahyu.

Lebih lanjut, Wahyu juga mengatakan bahwa tidak ada fakta yang mendukung Putri Candrawathi mengalami gangguan berupa stres pasca-trauma akibat pelecehan seksual atau pun perkosaan.

“Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi,” tuturnya.



Dengan demikian, majelis hakim menyatakan bahwa adanya alasan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi patut dikesampingkan.

Sebelumnya, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi mengatakan telah terjadi pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi yang dilakukan Yosua. Cerita Putri mengenai pelecehan seksual yang ia alami menyulut emosi Ferdy Sambo.

Atas dasar peristiwa tersebutlah, terjadi pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Rumah Dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Sidang vonis Ferdy Sambo dimulai pukul 10.00 WIB. Hingga pukul 13.00 WIB, majelis hakim masih membacakan surat putusan vonis Ferdy Sambo.

Baca Juga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya