SOLOPOS.COM - Pedagang menyortir cabai rawit merah di Pasar Peterongan, Semarang, Jateng, Senin (6/3/2017). (JIBI/Solopos/Antara/R. Rekotomo)

KPPU menelusuri dugaan kartel cabai rawit di Sulut menyusul temuan serupa di Jawa.

Solopos.com, MANADO — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah menelisik dugaan kartel komoditas cabai rawit atau rica di Sulawesi Utara, menyusul temuan serupa di Pulau Jawa. Praktik kartel ditengarai menjadi penyebab dari pergerakan harga cabai rawit yang tidak wajar.

Promosi Siasat BRI Hadapi Ketidakpastian Ekonomi dan Geopolitik Global

Kepala Perwakilan KPPU Makassar, Ramli Simanjuntak, mengatakan pihaknya bakal memetakan jalur distribusi komoditas rica sebagai modal untuk memantau pergerakan komoditas penting di provinsi Nyiur Melambai itu. Data para pelaku usaha akan menjadi acuan bila ditemukan pergerakan harga yang tidak wajar.

Dia menerangkan, hasil temuan KPPU menunjukkan rantai distribusi rica di Sulawesi Utara terbilang panjang. Namun, rantai distribusi yang panjang ini menurutnya juga ditemui di seluruh wilayah Indonesia.

Menurut Ramli, rantai distribusi yang panjang membuat harga sangat riskan bergejolak ketika pasokan berkurang. Dalam kondisi pasokan normal pun, rantai distribusi yang panjang menyebabkan harga jual petani ke konsumen membubung. “Itulah kenapa rantai perdagangan itu harus dipotong,” ujarnya kepada Bisnis/JIBI di Manado, Jumat (31/3/2017).

Ramli mengungkapkan, KPPU telah mengindentifikasi tiga bandar besar di Jabodetabek yang disangka melakukan praktik kartel. Praktik serupa menurutnya tidak tertutup kemungkinan juga terjadi di Sulawesi Utara.

Untuk itu, KPPU bekerja sama dengan tim pengendali inflasi daerah (TPID) guna menyelidiki dugaan praktik kartel cabai. Kerja sama dengan TPID juga mencakup penyusunan neraca komoditas cabai antardaerah. Data itu menurut Ramli diperlukan guna menjaga stabilitas pasokan di wilayah provinsi.

Ramli menerangkan, KPPU menemukan praktik penjualan komoditas ke luar daerah karena harga yang lebih tinggi. Alhasil, pasokan untuk wilayah yang dekat dengan sentra produksi berkurang sehingga menyebabkan harga terkerek. “Ada daerah yang surplus, ada daerah yang kekurangan, ini menjadi daya tarik pedagang untuk mengambil margin yang sangat tinggi,” jelasnya.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan Sulawesi Utara, Jemmy Kuhu, mengatakan permintaan rica di seluruh wilayah saat ini terbilang merata karena kesamaan pola konsumsi. Alhasil, produksi rica dari wilayah sentra tersedot oleh permintaan dari wilayah yang bukan sentra produksi. “Di Jawa beli gorengan saja kan ada rawitnya,” ujar Jemmy.

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional menunjukkan, harga rica di Sulawesi Utara bergerak liar. Misalnya, pada 1 Maret 2017 harga per kg masih Rp98.750 ; sehari berselang sudah mencapai Rp107.750 dan sepekan kemudian sudah menembus Rp120.000.

Di periode yang sama, harga rica di beberapa daerah juga melonjak. Di Jakarta tercatat pernah mencapai Rp150.000 per kg. Namun, di akhir Maret 2017 harga rica mulai sedikit turun. Di Sulawesi Utara tercatat Rp90.000 sedangkan di Jakarta Rp145.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya