SOLOPOS.COM - Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hadir di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (1/12/2016). (JIBI/Solopos/Antara/Muhammad Adimaja)

Setara Institute menilai ada celah hukum dalam pasal yang disangkakan pada Ahok, bahkan bisa membuatnya bebas.

Solopos.com, JAKARTA — Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai pasal yang disangkakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bisa menjadi celah bagi calon petahan Gubernur DKI Jakarta itu untuk bebas. Pasalnya, di menilai pasal 156 dan 156a KUHP sangat lemah untuk menjerat Ahok tersebut dalam kasus dugaan penistaan agama.

Promosi Jaga Keandalan Transaksi Nasabah, BRI Raih ISO 2230:2019 BCMS

“Dengan demikian, pasal yang disangkakan ini membuka peluang Ahok lolos dari jeratan. Jadi itu [pasal 156a KUHP] konteks masa lalu. Udah tidak punya kaki lagi,” katanya, Rabu (14/12/2016).

Hendardi meyakini tim kuasa hukum Ahok akan mudah melakukan pembelaan, mengingat pasal yang disangkakan itu lemah dan menginterpretasikan golongan pada masa lalu dalam konteks kolonial. “Saya kira ini akan menjadi pembelaan Ahok di pengadilan,” ujarnya.

Sebelumnya, Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika BT juga menilai dakwaan yang dilayangkan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap kliennya masih prematur. Dalam eksepsi yang dibacakan oleh pengacara senior Trimulya D. Soerjadi mewakili Tim Advokasi Bhineka Tunggal Ika BTP dalam persidangan itu, JPU dianggap mengabaikan aturan khusus, dan langsung menerapkan aturan umum dalam dugaan kasus penodaan agama oleh Ahok.

“Aturan khusus yang dianggap dikesampingkan oleh JPU adalah UU PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,” ujarnya, Selasa (13/12/2016).

Merujuk pada beleid itu, yaitu pada pasal 1, 2, dan 3, seharusnya Ahok mendapatkan peringatan keras dahulu untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pasal 1, 2, dan 3 undang-undang itu mengatur bahwa setiap menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu;
Penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu, diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.

Lalu, jika setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam negeri, yang bersangkutan masih juga tidak mengindahkan, maka barulah dapat dikenakan Pasal 156a, yang kini menjerat Ahok tersebut.

“Dengan demikian dari uraian rumusan delik agama sebagaimana diatur dalam UU PNPS No.1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1, 2, dan 3, secara hukum dapat dikualifikasikan bersifat khusus,” kata kuasa hukum saat membacakan eksepsinya.

Menurutnya undang-undang yang diabaikan oleh jaksa itu masih berlaku dan belum dicabut hingga saat ini. “Argumentasi hukum kami sejalan dan juga sesuai putusan MK Nomor 84/PUU-X/2012 halaman 145 poin 3.16, yang pada pokoknya menyatakan bahwa terhadap dalil para pemohon bahwa Pasal 156a KUHP tidak dapat diberlakukan tanpa didahului perintah dan peringatan keras untuk menghentikan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri,” kata kuasa hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya