SOLOPOS.COM - Ilustrasi (mediaaktual.com)

Seleksi pimpinan KPK sempat diwarnai polemik masuknya dua pakar hukum sebagai calon anggota pansel. Polemik itu masuk ke ranah hukum.

Solopos.com, JAKARTA — Pelaporan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo, serta mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Said Zainal Abidin dalam kasus pencemaran nama baik akan memunculkan ketakutan masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya.

Promosi Klaster Usaha Rumput Laut Kampung Pogo, UMKM Binaan BRI di Sulawesi Selatan

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Eddyono, mengatakan laporan tentang pencemaran nama baik yang dilakukan ketiganya oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, dapat mempengaruhi kebebasan berpendapat dalam pemberantasan korupsi.

“Kami melihat masalah ini tidak perlu di besar-besarkan. Karena kritik terhadap orang yang menduduki jabatan publik, atau yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas adalah hal yang wajar,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (2/6/2015).

Romli Atmasasmita melaporkan Emerson, Adnan, dan Said Zainal ke Bareskrim Polri dengan dugaan pencemaran nama baik. Laporan itu berdasarkan pernyataan mereka soal integritas dan komitmen pemberantasan korupsinya Romli karena memiliki konflik kepentingan apabila masuk ke dalam Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK.

Supriyadi menuturkan Pasal 30 ayat (3) KUHP sendiri menyatakan bila jelas dilakukan demi kepentingan umum, atau terpaksa untuk membela diri, perbuatan itu bukan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis.

“Apa yang dilakukan ICW dan Said Zainal masuk ke dalam koridor untuk kepentingan umum, karena pemilihan Pansel merupakan bagian besar dari upaya pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Menurutnya, Romli Atmasasmita sebaiknya menggunakan jalur Perdata untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pihak kepolisian pun harus berupaya mempertemukan pihak-pihak tersebut agar kasus itu dapat diselesaikan dengan baik.

Supriyadi juga menyebutkan berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya terhadap penerapan penghinaan di Indonesia pada 2012 terdapat 275 perkara penghinaan. Sementara itu sepanjang 2001-2012 ditemukan fakta bawa sebagian besar pelaku tindak pidana penghinaan dituntut penjara dan pidana percobaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya