SOLOPOS.COM - Anak-anak tengah mengobrol. (freepik)

Solopos.com, SOLO–Bahasa daerah adalah komponen integral dari identitas dan warisan budaya bangsa, yang sarat dengan nilai-nilai luhur. Keberlangsungan bahasa daerah memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap kelangsungan bangsa Indonesia. Sebaliknya, kepunahan bahasa daerah akan membawa dampak negatif bagi masyarakat.

Indonesia yang wilayahnya mencakup 17.000-an pulau menjadi salah satu negara dengan bahasa daerah paling banyak di dunia. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), mencatat terdapat 718 bahasa daerah yang tersebar di Tanah Air. Namun demikian, tak semua bahasa daerah tersebut digunakan oleh penduduk Indonesia.

Promosi Siasat BRI Hadapi Ketidakpastian Ekonomi dan Geopolitik Global

Menurut data Kemendikbudristek, sebanyak 11 bahasa daerah telah punah yakni bahasa Tandia (Papua Barat), Mawes (Papua), Ternateno (Maluku Utara), Kajeli/Kayeli (Maluku), Piru (Maluku), Moksela (Maluku), Palumata (Maluku), Hukumina (Maluku), Hoti (Maluku), Serua (Maluku), Nila (Maluku).

Sedikit berbeda, menurut data Lembaga Riset Bahasa, Ethnologue, yang dikutip dataindonesia.id, Jumat (8/9/2023), hanya 704 bahasa yang masih digunakan oleh masyarakat Indonesia, sedangkan sisanya atau 14 bahasa daerah sudah punah lantaran tak lagi dipakai.

Dihimpun dari berbagai sumber, 14 bahasa yang punah itu yakni 10 bahasa dari Maluku Tengah, yakni bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te’un, Palumata, Loun, Moksela, Naka’ela, dan Nila. Dua bahasa dari Maluku Utara, yakni Ternateno dan Ibu. Serta dua bahasa dari Papua, yakni Saponi dan Mapia.

Sementara itu, mayoritas atau sejumlah 436 bahasa daerah di Indonesia dikategorikan terancam punah. Pasalnya, anak-anak di wilayah setempat tidak lagi terbiasa mempelajari maupun menggunakan bahasa daerah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

bahasa daerah
Klasifikasi keterancaman bahasa. (setkab.go.id)

Sedangkan sebanyak 251 bahasa di Indonesia masuk kategori stabil. Artinya, bahasa tersebut masih digunakan masyarakat dan dipelajari anak-anak, meski tidak didukung oleh lembaga formal. Sedangkan 17 bahasa di Indonesia masuk kategori terlembagakan alias penggunaan 17 bahasa tersebut tetap dipertahankan lewat lembaga formal.

“Banyak orang yang tidak menyadari bahwa bahasa itu menyimpan filosofi hidup, cara pandang hidup di lokasinya masing-masing. Nah, kalau kita tidak merawat bahasa daerah berarti kita itu tidak memikirkan bagaimana mereka itu melihat dunianya,” urai Multamia Lauder, Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia, dalam siaran Youtube Antara TV Indonesia Menjaga Warisan Bahasa Daerah, 14 Agustus 2023.

Revitalisasi Bahasa Daerah

Mengingat pentingnya keberagaman bahasa daerah sebagai identitas dan keunikan bangsa, Kemendikbudristek menginisiasi program revitalisasi bahasa daerah dalam kebijakan Merdeka Belajar. Sasaran dari program ini yakni para penutur muda yang mengenyam pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Selain itu, peran dari komunitas bahasa juga dibutuhkan.

“Ada sinyalemen dari UNESCO tentang kehilangan bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Nah, di Indonesia sendiri tercatat ini
kan selama bertahun-tahun kita melakukan riset di tahun 2019 itu ada catatan 11 bahasa daerah itu hilang penuturnya. Ya, artinya tidak dipakai lagi berarti
bahasa itu mati,” urai Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, Aminudin Aziz.

Menurutnya, ancaman kehilangan bahasa daerah ini semakin hari semakin kuat, sehingga harus dicari upaya untuk mengerem atau memperlambat proses kepunahan sebuah bahasa. “Untuk mensinkronkan supaya ini bisa menjadi gerakan bersama ya kita usung sebuah konsep baru yang lebih relevan dengan situasi-situasi kebahasaan tadi yang kita sebut dengan konsep revitalisasi bahasa daerah,” tambahnya.

HUT Pemkab Boyolali
Para peserta upacara mengikuti upacara di Alun-Alun Kidul Boyolali, Minggu (5/6/2022). Para peserta upacara memakai pakaian adat tradisional dan seluruh rangkaian acara menggunakan bahasa Jawa. (Solopos.com/Ni’matul Faizah)

Konsep revitalisasi bahasa daerah yang diusung Kemendikbudristek diuji coba mulai 2021. Sasaran uji coba itu pada lima bahasa daerah yang besar penggunanya yakni bahasa Jawa, Sunda, serta tiga bahasa di Sulawesi Selatan, yakni Makassar, Bugis, dan Toraja. Hasilnya, menurut Aziz, respons dari
para penutur bahasa sangat positif.

“Mereka menyadari bahwa bahasa mereka yang dimasukkan ke dalam kategori bahasa yang masih aman itu merasa terancam karena ternyata jumlah penutur dari masing-masing bahasa ini juga terus menurun,” jelasnya.

Pada bagian lain, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Prof. Cece Sobarna mengatakan sarana pendidikan memiliki peran penting dalam upaya pencegahan punahnya bahasa daerah. Menurutnya, sarana pendidikan pun diharapkan mampu meningkatkan minat generasi muda untuk menggunakan bahasa daerah.

“Pintu terakhir dari kepunahan bahasa adalah sarana pendidikan, dalam hal ini sekolah dan perguruan tinggi,” ujar Cece pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu bertema Bahasa Ibu dalam Pusaran Kematian yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, beberapa waktu lalu, seperti dilansir unpad.ac.id.

Cece menjelaskan kepunahan suatu bahasa tidak langsung terjadi, melainkan telah melalui proses yang panjang. Tahap kematian bahasa sendiri meliputi berpotensi terancam punah, terancam punah, sangat terancam punah, sekarat, dan punah.

Dia mengidentifikasi ada sejumlah faktor yang mengakibatkan punahnya suatu bahasa daerah. Salah satunya adalah persaingan bahasa daerah dengan bahasa nasional dan bahasa asing. Selain itu, ada juga anggapan keliru bahwa penggunaan bahasa daerah merupakan simbol keterbelakangan, kemiskinan, dan tidak gaul terutama di kalangan muda.

revitalisasi bahasa daerah
Program revitalisasi bahasa daerah. (Antara)

Faktor lain, muncul anggapan bahwa dwibahasa dapat menghalangi proses pendidikan anak. Anak yang mengenal lebih dari satu bahasa dinilai akan menghalangi kemajuan proses pendidikannya. “Nah, ini tentu harus diluruskan bahwa tidak seperti itu,” ujar dia. Ditegaskan Cece,  setiap komponen masyarakat, termasuk akademisi, perlu berperan dalam mencegah kepunahan bahasa.

Penggunaan Istilah Asing

Lebih lanjut, Cece menyayangkan adanya penamaan sejumlah tempat di Indonesia yang menggunakan istilah asing seperti market atau park. Menurutnya, ini bisa menjadi ancaman terhadap bahasa daerah. “Ini sebetulnya cukup mengkhawatirkan karena gejala itu memang dirasakan perlahan-lahan tapi andaikata tidak terbentung ya suatu hari mau tidak mau bahasa yang kita pertahankan ini akan tinggal sebuah artefak,” katanya.

Era globalisasi, menjadi salah satu faktor adanya pergeseran bahasa. Meski demikian, kecintaan terhadap budaya sendiri semestinya harus tetap dipertahankan. “Sekalipun kita menerima budaya global, tetap kita harus berpijak pada budaya sendiri,” katanya.

Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Kemendikbudristek, Imam Budi Utomo, menjelaskan berkaitan dengan kurangnya guru bahasa daerah, pihaknya memperbolehkan menggunakan tokoh-tokoh misalnya sastrawan, komunitas sastra ataupun dari taman-taman bacaan yang memiliki kapasitas berkaitan dengan materi-materi pembelajaran itu.

“Yang memiliki kapasitas berkaitan dengan mendongeng, berkaitan dengan berpidato, berkaitan dengan menulis cerita pendek, ini kan menjadi ranah yang sangat spesifik begitu,” jelasnya.

Sumber: kantorbahasamaluku.kemdikbud.go.id

Menurut Imam, pihaknya telah mengadakan pelatihan untuk guru utama sebanyak ribuan guru. Kemudian, guru utama ini dalam rangka untuk ekspansinya satu orang akan melatih 50 orang atau 60 orang dan seterusnya, yang berikutnya akan melatih kepada anak-anak. “Bahkan ada juga yang guru utama yang langsung turun tangan untuk memberikan pelatihan kepada anak-anak,” beber dia.

Dibeberkan Imam, di dalam kajian vitalitas jika sebuah bahasa tidak lagi digunakan oleh anak-anak, remaja, serta orang dewasa berarti bahasa itu akan punah.



“Ketika anak-anak ini sudah tidak menggunakan bahasa daerah, dalam waktu 10 tahun 20 tahun nanti ketika menjadi dewasa pasti tidak akan memberikan pembelajaran atau menggunakan itu kepada anak-anak. Kalau sudah seperti itu berarti bahasa itu sudah akan mengalami kepunahan,” tandas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya