SOLOPOS.COM - Ilustrasi Liga Pendidikan Indonesia (Lipio) Solo (Dwi Prasetya/JIBI/Solopos

Solopos.com, SOLO — Guru Besar Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (POK) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Furqon Hidayatullah menegaskan perlunya pembinaan suporter sepakbola sehingga mereka bisa berpikir lebih rasional. Menurutnya tim sepak bola perlu dilibatkan sehingga pembinaan lebih maksimal.

Harapan itu dia kemukakan menanggapi banyaknya kasus bentrok antarsuporter yang berpotensi menyebabkan citra buruk persepakbolaan di Indonesia jika dibiarkan berulang. Seperti diberitakan Solopos.com, bentrok suporter sepak bola bukan hanya terjadi di liga profesional tetapi juga diduga memicu penyerbuan sekolah oleh gerombolan-gerombolan remaja anarkistis dalam dua hari terakhir, Rabu-Kamis (4-5/9/2013).

Promosi Program Pemberdayaan BRI Bikin Peternakan Ayam di Surabaya Ini Berkembang

SMK Murni, Rabu lalu, diserang ratusan remaja. Insiden itu diduga buntut laga kesebelasan sekolah itu dengan SMK Kasatriyan dalam turnamen sepak bola siswa berlabel Liga Pendidikan Indonesia Solo (Lipio) 2013 di Stadion Sriwedari Solo, Senin (2/9/2013). Keesokan harinya, Kamis sekitar pukul 10.00 WIB, SMAN 6 Solo di Jl. Mr. Sartono No. 30, Banjarsari, Solo, menjadi sasaran perusakan puluhan remaja tak dikenal yang diduga juga merupakan buntut dari kericuhan yang sempat terjadi pada turnamen Lipio yang mempertemukan kesebelasan sekolah itu dengan tim SMAN 8 di Stadion Sriwedari, Kamis pagi.

“Semua unsur harus dibina khususnya suporter agar mereka berpikir rasional. Hal ini perlu melibatkan tim sepak bola agar pembinaan lebih maksimal,” terang Dekan FKIP tersebut saat ditemui wartawan di Rektorat UNS, Kampus Kentingan, Solo, Kamis siang. Menurutnya, suporter merupakan pemain ke-12 dalam pertandingan sepak bola sehingga peran serta tim kesebelasan menjadi penting untuk memberikan edukasi kepada suporter.

Sementara itu, akademisi lain, sosiolog dari UNS Drajat Tri Kartono mengingatkan kerusuhan suporter bukan monopoli Indonesia. Suporter garis keras, menurutnya dimiliki hampir setiap negara. Tetapi, lanjutnya, budaya kekerasan di Indonesia masih ekstrem dengan melibatkan emosi kelompok yang cukup kuat. Bahkan persaingan antarsuporter terkesan membudaya dan menjadi musuh abadi.

Disayangkannya, pihak penyelenggara pertandingan justru mementingkan banyaknya jumlah suporter ketimbang sisi keamanan dan keselamatan suporter. “Aturan-aturan persepakbolaan di Indonesia kurang ketat. Kalau melihat aturan persebakbolaan FIFA, ada suporter yang berulah langsung diberi sanksi bahkan tim tidak boleh bertanding,” paparnya saat dihubungi wartawan.

Sedangkan psikolog dari Fakultas Kedokteran UNS Nugraha Arif Karyanta beranggapan perpecahan suporter suatu pertandingan bisa disebabkan tiga hal, yakni memunculkan nilai kebanggaan suatu kelompok dengan menunjukkan identitas kelompok. Perasaan ingroup dan outgroup yang berlebihan bisa menimbulkan persaingan. Dengan menjadi bagian dari kelompok, individu bisa menjadi emosional lantaran ingin menunjukkan sikap loyalitas kepada kelompok. (Rudi Hartono/Chrisna Chanis Cara/JIBI/Solopos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya