SOLOPOS.COM - Ilustrasi pendaftaran siswa baru SMAN dengan sistem zonasi. (Antaranews.com)

Solopos.com, SOLO—Sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dirasa perlu dievaluasi. Pasalnya sistem zonasi dianggap tidak cocok untuk sekolah negeri yang berada di tengah kota, sedangkan warga sudah tinggal di daerah pinggiran.

Hal ini tergambar pada tujuh SD Negeri di Solo yang mendapatkan kurang dari 10 siswa pada PPDB 2023. Salah satu faktor utama yakni sekolah-sekolah tersebut berada di tengah kota dan jauh dari pemukiman.

Promosi BRI Bantu Usaha Kue Kering di Sidoarjo Berkembang Kian Pesat saat Lebaran

“Jelas bahwa sekolah-sekolah negeri, terutama di pusat kota, sementara tempat tinggal warga banyak yang di daerah pinggiran, tapi sistem yang dipakai adalah sistem zonasi. Itu pembuat kebijakan tidak mengenali problem masyarakatnya,” kata pengamat pendidikan, Darmaningtyas, kepada Solopos.com, Jumat (28/7/2023).

Secara nasional, hal itu juga terjadi. Dia mencontohkan di Yogyakarta terdapat tiga SMP dan SMA negeri yang berada di Kota Baru. Menurut dia, daerah tersebut berada di perkantoran dan rumah sakit.

“Kalau 60% penerimaan murid baru dengan sistem zonasi jelas kurang pas,” kata dia.

Meski, menurut dia, niat awal pemerintah menerapkan zonasi adalah pemerataan pendidikan dan menghapus stigma favoritisme sekolah, namun ini  justru menunjukkan cara berpikir pemerintah memiliki standar ganda. 

“Ketika mencari PTN [perguruan tinggi negeri] selalu mencari PTN favorit, tapi kenapa sekolah favorit di SMP dan SMA kok diharamkan? Kalau mengharamkan sekolah favorit di SMP dan SMA ya tidak usah mendorong-dorong PTN mempunyai ranking di dunia,” kata dia.

Menurut dia, memeratakan kualitas pendidikan itu tidak harus dengan sistem zonasi, namun yang lebih penting yakni pemerataan fasilitas, sumber daya manusia, serta anggaran. 

“Kalau sekolah favorit itu terbentuk secara natural, mestinya tidak dimatikan oleh pemerintah lewat zonasi. Yang saya tolak pada RSBI [Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional] dulu  karena perhatian Pemerintah fokus pada RSBI dan mengabaikan sekolah-sekolah negeri reguler maupun sekolah swasta,” kata dia.

Menurut dia, pemerintah perlu adil untuk mendudukkan posisi sekolah-sekolah negeri. Pemerintah harus memberikan keleluasaan untuk sekolah negeri dan memberikan ruang agar sekolah unggulan tetap bisa muncul.

“Aneh memang, ketika sekolah tidak bermutu di-bully, tapi ketika ada sekolah unggul/favorit kok dimatikan,” kata dia.

Selain itu, penerimaan siswa baru merupakan domain Pemda Daerah (Pembda) atau Pemerintah Kota (Pemkot) untuk pendidikan dasar dan SMP. Sedangkan pemerintah provinsi (Pemprov) memegang pendidikan menengah.

Sejauh ini pengaturan PPDB, termasuk zonasi diatur oleh pemerintah pusat melalui Permendikbudristek. Namun, menurut dia, seharusnya pengaturan PPDB berada di ranah Pemda dan Pemprov.

“Mendikbud melanggar UU Pemda, karena mengambil peran yang menjadi domain Pemda. Itu di UU No. 23/2014 jelas sekali. Kemendikbud itu hanya membuat standarisasi, kurikulum, dan evaluasi saja. Sebaiknya serahkan saja ke Pemda, jangan ada intervensi pusat. Intervensi pusat justru bisa bikin kacau seperti sekarang ini,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya