SOLOPOS.COM - Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato terkait konflik Hamas-Israel di Jakarta, Senin (30/10/2023). (ANTARA/Andi Firdaus)

Solopos.com, JAKARTA — Sejumlah tokoh dan politikus mulai menghembuskan potensi pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Wacana ini muncul di tengah makin maraknya isu politik dinasti dan tudingan ketidaknetralan pemerintah dalam pemilihan umum alias Pemilu 2024. 

Promosi BRI Pastikan Video Uang Hilang Efek Pemilu untuk Bansos adalah Hoaks

Cawe-cawe politik Presiden Jokowi berbuntut panjang. Perilaku itu dilihat oleh banyak pihak sebagai ketidaknetralan Jokowi sebagai penyelenggara negara. 

Mereka mulai menggulirkan wacana hak angket dan pemakzulan tehadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Wacana hak angket dan pemakzulan mengemuka ke publik menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga sarat kepentingan sebagian pihak. 

Putusan MK terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) itu terjadi hanya 3 hari sebelum KPU membuka pendaftaran peserta Pilpres 2024. 

Belakangan putusan ini terbukti cacat secara etik. Isu yang santer terdengar, putusan MK tersebut hanya untuk memberikan jalan bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres Prabowo Subianto. 

Suatu putusan yang kemudian berbuntut kepada pelaporan paman Gibran, Anwar Usman, ke Mahkamah Kehormatan MK (MKMK). 

Menariknya wacana pemakzulan ini meluncur dari orang-orang yang pernah berada di sekeliling Jokowi. Salah satunya adalah Wakil Presiden (Wapres) Ke-10 dan Ke-12 Jusuf Kalla. 

Jusuf Kalla bahkan bicara sangat tegas. Dia memberikan lampu kuning terhadap jatuhnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dipicu oleh krisis politik dan ekonomi. 

Dia mengatakan bahwa pada era Presiden Soekarno, masa pemerintahannya jatuh akibat krisis politik yang terjadi pada 1966. 

Hal itu terjadi lantaran masyarakat geram melihat sejumlah orang ditangkap dan harga bahan bakar minyak (BBM) melambung tinggi. 

“Dua krisis bersamaan timbul, [krisis] politik terjadi, ekonomi terjadi waktu yang bersamaan maka jatuh lah suatu pemerintahan. Artinya, demokrasinya tidak jalan, tujuannya tak jalan, yaitu kesejahteraan,” ujarnya saat hadir di acara Habibie Democracy Forum di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (15/11/2023), dilansir Bisnis.com.

Pada 1998, dia melanjutkan bahwa situasi serupa dialami Presiden Ke-7 RI Suharto yang pendekatan otoriternya dikecam banyak pihak. 

Hal itu diperparah lantaran Indonesia pun dihantam oleh krisis keuangan dunia. Oleh sebab itu, dia melanjutkan dengan berkaca pada situasi saat ini, hampir semua orang memprotes kemunduran demokrasi, persoalan ini dapat berujung munculnya krisis politik. 

Apalagi, dia menilai bahwa di masa kepemimpinan saat ini ekonomi dunia tengah dalam kondisi yang sulit. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun seringkali menyebut ekonomi dunia dalam kondisi yang mengerikan. 

“Kalau ini dampaknya bersamaan, maka kita harus hati-hati [potensi pemerintahan jatuh]. Artinya kembali ke jalur demokrasi yang baik,” pungkas JK. 

Soal Etika Politik 

Suara-suara serupa juga muncul dari politikus PKB, Jazilul Fawaid. Jazilul mengungkapkan sulit membedakan presiden sebagai kepala negara dan pemerintah dengan presiden sebagai kepala keluarga. 

Menurut wakil ketua umum PKB ini, masyarakat menjadi kurang percaya dengan lembaga-lembaga politik negara saat ini seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga lembaga kepresidenan paska putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023. 

“Misalkan katakanlah ya, sulitkan membedakan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sekaligus pada saat yang sama menjadi kepala keluarga. Itu memang agak sulit itu,” ungkap Jazilul. 

Oleh sebab itu, dia mengingatkan agar lembaga kehakiman tetap menjaga netralitas. Mereka, lanjutnya, tidak boleh memutuskan perkara yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan. 

Lebih lanjut, dia pun mengingatkan agar setiap pemegang kekuasaan tetap menjaga etika politik. Jazilul meyakini setiap penguasa bisa diturunkan dari jabatannya apabila sudah melupakan etika. 



“Kalau di UUD, perbuatan tercela itu bisa mengakibatkan presiden bisa diturunkan, jelas di situ perbuatan tercela. Tercela itu enggak tahu saya apa, itu kan mesti subjek soal-soal yang pengaruhi secara etik, termasuk juga hakim konstitusi bila melakukan perbuatan tercela, termasuk DPR,” jelasnya. 

Sebagai informasi, belakangan memang Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan sebab diyakini telah melanggengkan politik dinasti karena putra sulungnya Gibran Rakabuming maju sebagai cawapres di Pilpres 2024. 

Apalagi, Gibran bisa maju sebagai cawapres lewat putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dalam praktik pengambilan keputusan melanggar etik seperti yang dinyatakan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK). 

Di sisi lain, Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPR RI Masinton Pasaribu merasa putusan MK nomor 90 itu sebagai tragedi konstitusi. Dia merasa MK telah mempermainkan konstitusi dengan pragmatisme politik yang sempit. 

“Saya bicara tentang bagaimana kita bicara tentang bagaimana kita menjaga mandat konstitusi, menjaga mandat reformasi, dan demokrasi ini. Ini kita berada dalam situasi yang ancaman konstitusi,” ujar Masinton dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023). 

 

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Tokoh Politik Mulai Bicara Potensi Pemakzulan Jokowi”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya