SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta–Presiden SBY diminta untuk menghentikan gaya komunikasi politiknya yang sering curhat dan melankolis. Gaya seperti ini tidak cocok lagi digunakan pada periode kedua kepemimpinannya.

“Dulu saat 2004, SBY memang mendapat keuntungan dari underdog effect. Di mana dia saat itu seolah-olah terzalimi olah penguasa,” ujar pengamat politik Charta Politika Yunarto Wijaya, saat dihubungi, Rabu (26/1).

Promosi Kisah Petani Pepaya Raup Omzet Rp36 Juta/bulan, Makin Produktif dengan Kece BRI

Yunarto menjelaskan, saat itu gaya seperti itu memang menguntungkan. Tapi seharusnya di periode terakhir ini, SBY harus bisa meninggalkan gaya komunikasi melankolis. Toh, dia pun tidak akan bisa maju untuk periode berikutnya. Sehingga pencitraan sudah tidak lagi terlalu penting.

“Ini kan periode kedua, seharusnya dia bisa lebih all out. Bisa lebih tegas. Tidak terjebak euforia underdog effect,” jelas dia.

Yunarto pun menyoroti output komunikasi SBY yang normatif atau mengambang. Hal ini akan menimbulkan multitafsir dan ketidakjelasan.

“Kata kuncinya adalah karakter kepemimpinan yang tegas, jelas dan terang benderang,” tambahnya.

Mengenai berbagai reaksi masyarakat soal isu kenaikan gaji SBY, Yunarto menilai pemerintah seharusnya menanggapinya dengan bijak. Tetapi menurutnya, terlalu berlebihan aksi penggalangan koin di DPR atau sikap beberapa politisi yang mengambil keuntungan dari ucapan presiden itu. “Mudah-mudahan itu suara masyarakat jangan ditunggangi politisi,” harapnya.

dtc/tiw

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya