SOLOPOS.COM - Ilustrasi penolakan elemern masyarakat sipil terhadap RUU Ormas. (JIBI/SOLOPOS/Antara)

 

Ilustrasi penolakan elemern masyarakat sipil terhadap RUU Ormas. (JIBI/SOLOPOS/Antara)

Promosi BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun, ke Depan Lebih Fokus Hadapi Tantangan Domestik

JAKARTA — Sejumlah organisasi sipil menolak Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) yang mengancam kebebasan warga untuk berserikat. Mereka khawatir, RUU itu akan membalikkan sejarah Indonesia ke rezim otoritarian dan represif.

Sejumlah elemen masyarakat sipil yang menolak RUU Ormas pun merapatkan barisan. Secara bersama-sama, Senin (24/6/2013), mereka melakukan konferensi pers di Jakarta.

Mereka berasal dari perwakilan organisasi keagamaan antara lain Muhammadiyah, Majelis Tafsir Alquran, Majelis Umat Kristen Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Selain itu Persatuan Muslimin Indonesia (Parmusi), Nasyiatul Aisyiyah, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan Forum Masyarakat Katolik Indonesia.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menegaskan RUU Ormas bisa membawa Indonesia ke rezim otoritarian dan represif. “Pada intinya mengapa RUU Ormas ditolak karena dilihat dari tiga acuan utama. Pertama, reformasi Indonesia perlu dikawal dalam perubahan dari otoritarian ke demokrasi maka jangan sampai ada pembalikan jarum sejarah ke otoritarian dan represif,” kata Din.

Kedua, menurut dia, konsolidasi demokrasi Indonesia yang sudah berjalan harus terus dikonsolidasikan di semua lapisan masyarakat. Dia menjelaskan salah satu caranya memberi kebebasan masyarakat untuk eksis dalam berkontribusi bagi bangsa Indonesia dengan mendirikan ormas. Poin ketiga, dia mengatakan dalam Pasal 28 UUD 1945, negara menjamin kebebasan warga negara untuk berkumpul dan berserikat.

Menurut dia, kebebasan itu melekat pada diri warga negara sehingga negara tidak dapat mengintervensi dan mengatur masyarakat untuk mendirikan organisasi. “Penegakan konstitusi pada Pasal 28 menjelaskan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul secara lisan dan tulisan adalah hak asasi manusia,” ujarnya.

Din menilai RUU tersebut berada pada ranah hukum administratif bahwa negara memiliki kewenangan untuk memberi izin kepada masyarakat untuk mendirikan ormas. Dia menjelaskan hal itu diartikan ada persyaratan, dan proses apabila orang mendirikan ormas.

“Hal itu yang kami anggap antidemokrasi dan antikonstitusi. Asumsi dasar yang keliru, pada awalnya ingin mengatur ormas anarkis dan yang mendapat dana dari internasional,” katanya.

Dia menilai seharusnya pemerintah dan DPR harus melihat realitas serta menggunakan pendekatan responsif. Menurut dia, RUU Ormas tersebut menggunakan pendekatan konservatif karena negara ingin mengatur melampaui batas kewenangannya.

Ketua Umum Majelis Umat Kristen Indonesia, Bonar Simangunsong, dalam konferensi pers itu mengatakan ormas diperlukan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat sehingga bisa menyalurkan aspirasinya. Dia menegaskan ormas merupakan bagian dari demokrasi dan kebebasan berserikat yang harus diberdayakan serta tidak perlu campur tangan pemerintah terlalu jauh.

“Ormas yang ada jangan dikebiri tapi pemerintah wajib membina ormas sehingga mereka bisa memberdayakan masyarakat,” katanya.

Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam KWI, Romo Suprapto, mengatakan RUU Ormas berpotensi menghambat kebebasan masyarakat. “Ormas merupakan wadah artikulasi masyarakat sipil yang ingin berkontribusi pada bangsa. Apabila RUU Ormas jadi disahkan maka sangat membatasi kontribusi masyarakat,” katanya.

Dia mengatakan RUU Ormas tidak diperlukan. Tidak perlu aturan untuk ormas karena sudah ada peraturannya. Dia menilai apabila alasan pemerintah membuat RUU itu karena adanya potensi ormas radikal. Seharusnya pemerintah hadir secara langsung mengatasi masalah tersebut. “Kalau alasannya terkait ormas radikal, pemerintah seharusnya hadir untuk atasi masalah tersebut,” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI, Jeirry Sumampow, mengatakan dalam RUU Ormas, negara bersikap superior dan ormas inferior. Hal itu, menurut dia, membuat masyarakat harus mengikuti keinginan negara.

“Seharusnya negara memfasilitasi ormas, dan kami menolak kerangka berpikir yang menjiwai RUU Ormas,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya