SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/Andi Rambe)

Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/Andi Rambe)

JAKARTA – Rantai distribusi rotan dari petani pengumpul ke industri pengolahan perlu dipangkas guna memberikan jaminan ketersediaan bahan baku sehingga mendongkrak pemanfaatan rotan sebagai hasil hutan bukan kayu unggulan.

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menilai panjangnya rantai distribusi rotan telah menjadi persoalan mendasar dari pemanfaatan rotan bagi industri pengolahan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Bahkan, Zulkifli menduga banyak retribusi liar yang masih menghantui petani pengumpul.

Selain itu, seru Zulkifli, kehadiran sejumlah rent seeker turut mengakibatkan kelangkaan bahan baku rotan bagi industri pengolahan pasca penutupan keran ekspor rotan setengah jadi. Aktivitas pemburu rente kerap menahan laju distribusi untuk industri pengolahan. “Dengan dipangkasnya peran rent seeker, maka industri bisa memperoleh bahan baku dengan lancar, sementara petani pengumpul juga bisa memperoleh harga yang lebih baik untuk kesejahteraannya,” jelas Menhut.

Menurut Zulkifli, pihaknya mendukung penutupan ekspor rotan setengah jadi guna mendukung industrialisasi produk jadi rotan. Kemenhut telah menetapkan kuota pemanen rotan alam lestari sebesar 143.120 ton basah melalui Surat Keputusan No.25/2012 tentang Penetapan Jatah Produksi Rotan Lestari Secara Nasional Periode 2012.

Hambat Distribusi
Ketua Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Ambar Polah Tjahyono menegaskan kelangkaan rotan yang terjadi saat ini disebabkan adanya ketentuan yang menghambat distribusi rotan. Misalnya, kata Ambar, adanya kewajiban verifikasi terhadap pengiriman rotan antarpulau guna mencegah penyelundupan. “Alasan itu tidak masuk akal karena rotan yang dikapalkan untuk tujuan di dalam negeri. Komoditas lain yang diperdagangkan antarpulau juga tidak perlu ada verifikasi,” ungkapnya.

Di samping itu, menurut Ambar, pasca diberlakukannya peraturan Menteri Perdagangan No.36/2011 yang melarang ekspor rotan setengah jadi, para petani pengumpul rotan enggan untuk mencari rotan di hutan karena harus memilih jenis rotan tertentu saja yang dipakai oleh industri dalam negeri di Jawa.

Akibatnya, biaya pengumpulan rotan membengkak sehingga banyak petani yang mencari alternatif sumber pendapatan di luar hasil hutan bukan kayu. Kondisi ini kian mempersulit industri pengolahan mencari bahan baku rotan. “Kalau dulu satu minggu petani pengumpul rotan bisa memperoleh penghasilan hingga Rp500.000. Sekarang, karena yang laku terbatas, mereka paling hanya mendapatkan Rp50.000-Rp100.000,” ungkap Ambar.

Menurut Ambar, pemerintah harus segera membentuk badan penyangga rotan, guna menampung jenis-jenis rotan yang belum digunakan oleh industri barang jadi di Jawa. Adanya badan penyangga ini diharapkan akan kembali menggairahkan para petani pengumpul rotan di luar Jawa untuk tetap mengambil rotan dari hutan.

Pelaku usaha juga perlu dilibatkan dalam setiap pembahasan maupun penerapan program-program pemerintah termasuk pengembangan desain baru terhadap industri rotan sintetik di Indonesia. Menurutnya, rotan sintetik tengah naik daun karena mulai dimanfaatkan sebagai produk indoor furniture. Sebagian besar pengusaha mebel kini lebih memilih rotan sintetis atau aluminium sebagai bahan baku utama produk mebel. Dari 300 jenis rotan yang tumbuh di Indonesia, hanya tujuh jenis rotan yang digunakan industri mebel dalam negeri yaitu rotan batang, rotan noko, rotan lambang, rotan tohiti, dan rotan sega.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya