SOLOPOS.COM - Keluarga besar drg. Hj. Rektna Arimurti, M.M. dan Ir. H. Sudjadi saat acara peluncuran buku. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Istilah sesajen, sajen, dan wilujengan dalam khazanah budaya Nusantara akan merujuk pada aktivitas membuat suatu sajian tertentu seperti makanan, buah-buahan, kembang-kembangan dan lain sebagainya. Pada prinsipnya sesajen dimaknai sebagai persembahan kepada sesuatu yang gaib.

Banyak masyarakat yang percaya jika melalui sesajen, pengucapan doa-doa tertentu, hingga membakar dupa secara simbolis memiliki tujuan menjalin hubungan baik dengan penguasa suatu tempat. Tentu yang dimaksud penguasa bukan lurah, kadus maupun camat. Melainkan sesuatu yang tak kasat mata atau kadang disebut sing mbaurekso.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Seiring berjalannya waktu, ritual adat wilujengan yang menggunakan media sesajen mulai luntur dan ditinggalkan. Selain sebagian besar masyarakat di Indonesia memaknai jika tradisi ini merupakan perilaku syirik atau musrik. Generasi muda saat ini juga banyak memiliki persepsi jika membuat sesajen merupakan tradisi yang sudah usang. Bahkan jika masih ada yang menjalankan aktivitas sesajen, banyak yang tidak sesuai dengan pakem atau tuntutan yang benar.

Padahal, inti sesajen tidak sebatas dimaknai sebagai persembahan pada roh leluhur, melainkan ada wujud ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia. Melalui pakem sesajen yang benar, para pendahulu seakan ingin menyampaikan pesan ataupun nasihat melalui media sesajen. Dengan demikian jika masyarakat memahami sesajen melalui pemahaman literasi mendalam, maka kebenaran tentang sesajen akan terungkap, yakni konsep keteladanan melalui simbol dan makna filosofi pada setiap kombinasi menunya.

Buku berjudul Uborampe Sesaji Wilujengan Siklus Kehidupan Manusia Dari Masa Ke Masa Dan Sesaji Wilujengan Pernikahan Adat Budaya Jawa Tradisional karya Rektna Arimurti ini membahas tuntas mengenai pakem dalam membuat sesaji lengkap dengan kandungan filosofi yang berkaitan dengan tradisi caos dahar (sesaji) untuk wilujengan (selamatan) dalam kehidupan manusia dan sesaji untuk pernikahan.

“Memang sudah seharusnya pakem tersebut diuri-uri, dihormati, dan dilestarikan. Karena tradisi budaya bangsa kita itu indah, agung, berkarakter dan kaya akan makna kehidupan,” kata Rektna Arimurti.

Kehadiran buku ini menjadi panduan bagi pelestari budaya agar ketika membuat sesaji bisa dilakukan sesuai pakem. Buku ini disusun dengan ilustrasi gambar yang dicetak full color serta dibahas detail dengan bahasa yang mudah dipahami.

Warisan Abadi

Budaya dan tradisi merupakan warisan bangsa yang rawan tergerus oleh perkembangan zaman. Butuh orang-orang yang siap merelakan diri untuk merawat serta menjaga tradisi agar dapat menjadi pelajaran bagi setiap generasi.

Meski kini berusia 73 tahun, Rektna masih menyukai aktivitas menulis. Ia mengaku memiliki tanggung jawab moral sebagai pelestari budaya bangsa.

“Apalagi tanah Jawa menyimpan berbagai macam keindahan budaya. Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pusat budaya Jawa mewariskan banyak tradisi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Salah satu warisan tersebut berupa tradisi sajen dan sesaji. Saya berharap dengan menulis bisa menjaga simpul budaya asli tanah air,” kata Rektna.

Sesaji memiliki status sebagai kelengkapan adat dan menjadi salah satu kelengkapan upacara tertentu. Biasanya sesaji digunakan dalam berbagai upacara adat di Karaton Surakarta Hadiningrat. Penyelenggaraan sesaji dalam setiap prosesi ritual di lingkup Karaton Surakarta Hadiningrat ternyata telah ada sebelum Kerajaan Majapahit berdiri.

Buku ke-3 karya drg. Hj. Rektna Arimurti, M.M. ini diluncurkan pada Minggu (23/7) pagi. Peluncuran buku dibarengkan dengan acara sang suami, 10 Windu Tanggap Warso Ir. H. Sudjadi yang digelar di kediaman mereka di Ngabeyan, Kartasura, Sukoharjo. Peluncuran dihadiri seratusan tamu undangan yang terdiri atas keluarga, relasi, sahabat, serta tokoh masyarakat.

Pada momen ini, penulis secara spesial mempersembahkan buku ini sebagai hadiah untuk suami tercinta. Penulis menyadari menjadi istri seorang wakil rakyat juga memiliki peran menjaga nafas perjuangan, salah satunya dengan menulis bertemakan budaya, tradisi serta warisan leluhur.

Dalam sambutannya, Ir. H. Sudjadi mengatakan sang istri giat menulis sejak muda. Sebagai suami, Sudjadi terus mendukung kegiatan sang istri untuk menghasilkan karya yang bermanfaat. Ia bersyukur di usia ke-80 tahun Allah SWT masih memberikan kesempatan menyaksikan perjuangan sang istri menulis dan berkarya. Harapanya dengan buku akan menjadi warisan abadi dan amal jariyah yang akan terus mengalir.

Penulis: Adam Aryo Gumilar

Baca Juga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya