SOLOPOS.COM - mantan anggota KPK, Tata Khoiriyah (suaraaisyiyah.id)

Solopos.com, JAKARTA — Pada 2019 silam ramai pemberitaan tentang petugas keamanan KPK dipecat karena menyebarluaskan foto yang disebut bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di ruang kerja KPK.

Mantan pegawai KPK yang dipecat karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), Tata Khoiriyah, buka suara mengenai polemik tersebut.

Promosi Kisah Inspiratif Ibru, Desa BRILian Paling Inovatif dan Digitalisasi Terbaik

Saat peristiwa bendera HTI tersebut terjadi sekitar September 2019, kala itu KPK masih dipimpin Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang.

Sedangkan pimpinan KPK saat ini, yaitu Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron, baru dilantik pada Desember 2019.

Ruang Jaksa

Dari informasi yang didapat detikcom, foto yang diambil itu berada di Lantai 10 Gedung Merah Putih KPK, yang merupakan zona terlarang untuk didokumentasikan karena di sanalah para jaksa KPK bekerja.

Larangan mengambil foto di lantai itu karena terdapat banyak berkas rahasia terkait dengan tugas para jaksa KPK.

Dari foto yang beredar, terlihat ada bendera dengan latar belakang putih dengan tulisan berwarna hitam.

Bendera itu diduga merupakan Al Liwa, yaitu bendera dengan tulisan ‘tauhid’ pada zaman Rasulullah SAW.

Baca Juga: Polri Segera Undang 57 Mantan Anggota KPK 

Adapun bendera serupa, yaitu dengan latar belakang hitam dengan tulisan putih, disebut dengan ‘Ar-Rayah’.

Bendera-bendera ini kerap diidentikkan dengan HTI meski sebenarnya berbeda.

KPK sudah memberikan penjelasan mengenai hal tersebut.

Ilegal

Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri menerangkan tindakan yang dilakukan mantan petugas satpam KPK tindakan ilegal.

Ali mengatakan pegawai tersebut sengaja menyebarkan hoaks ke pihak eksternal sehingga memperburuk citra KPK.

Dengan itu, pegawai tersebut dinyatakan melakukan pelanggaran berat, sesuai dengan pasalnya.

“Sehingga disimpulkan bahwa yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar (bohong) dan menyesatkan ke pihak eksternal. Hal tersebut kemudian menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK,” kata Ali.

“Perbuatan-perbuatan ini termasuk kategori Pelanggaran Berat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 huruf s Perkom Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK,” tambahnya.

Penjelasan Tata Khoiriyah

Eks pegawai KPK, Tata Khoiriyah, turut mengomentari ramai bendera yang disebut bendera HTI tersebut.

Tata menyayangkan hal itu terjadi.

Dia lantas membeberkan beberapa poin yang terkait petugas keamanan yang dipecat itu.

“Saya menulis sedikit penjelasan karena pertanyaan yang sama berulangkali datang untuk sekedar mengkonfirmasi. Benarkah berita tersebut? Apakah ada klarifikasinya? Awalnya saya hanya balas selewatan. Lama-lama berujung pada diskusi panjang. Sampai akhirnya ketika situasi krisis, berita lama itu dimunculkan kembali untuk pembenaran atas alasan tes wawasan kebangsaan yang ujungnya menyingkirkan saya sebagai pegawai tetap KPK,” kata Tata, dalam tulisannya yang diunggah di akun Facebooknya, Minggu (3/10/2021).

Berikut tulisan lengkap Tata terkait polemik bendera HTI di ruang kerja KPK:

Di tengah ramainya pemberhentian 57+ pegawai KPK lewat asesmen Tes Wawasan Kebangsaan, beredar kabar pengakuan seorang mantan pegawai KPK yang dipecat karena menyebarkan foto bendera (liwa’) yang diasumsikan dengan sebuah gerakan HTI.

Mungkin penjelasan yang bisa saya sampaikan tidak sepenuhnya bisa menjawab keyakinan para pembaca.

Karena preferensi politik, kubu tokoh, dan kelompok tentu mempengaruhi cara berpikir dan saringan informasi anda.

Ada poin penting yang saya jelaskan terkait beredarnya pesan siar dari Mas Iwan Ismail yang juga sesama nahdliyyin;

1. Mas Iwan ini adalah pegawai tidak tetap (PTT) yang ditempatkan di bagian pengamanan rutan (rumah tahanan).

Tugas yang diemban adalah pengamanan terhadap tersangka dari Rumah Tahanan KPK atau rutan lainnya selama menjalani penanganan perkara (pemeriksaan, persidangan dan eksekusi).

Sehingga dia memiliki akses yang terbatas dan khusus untuk bisa memasuki ruangan-ruangan di KPK.

Sistem pengamanan di KPK memang sangat ketat dan dibatasi.

Ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas yang dimilikinya.

Saat saya masih menjadi bagian Biro Humas KPK, saya hanya bisa mengakses ruangan-ruangan yang bersifat publik dan lingkup kesekjenan.

Bahkan saya tidak bisa membuka pintu ruang kerja atasan saya sendiri.
Ruangan penindakan (tim penyelidik, penyidik, penuntutan, labuksi, monitor) hanya bisa diakses oleh pegawai di lantai itu sendiri.

Termasuk pramusaji (OB) dan petugas kebersihan di lantai tersebut.



Foto di mana bendera HTI tersebut diambil di Lt. 10 ruang kerja penuntutan yang diisi oleh para Jaksa yang ditempatkan/dipekerjakan KPK.

Mas Iwan ini tidak memiliki akses masuk ke ruangan tersebut.

Lantas dari mana Mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut?

Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri ditempatkan di rumah tahanan.

2. Mas Iwan bilang kalau akibat foto bendera tersebut viral, dirinya diperlakukan seolah-olah seperti tersangka.

Mungkin Mas Iwan belum tahu atau mungkin lupa bahwa pekerjaan KPK berkaitan dengan hal-hal yang confidential (rahasia).

Sehingga banyak aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang membutuhkan kebijaksanaan dalam bersikap sehari-harinya.

Karena ruang kerja tim penindakan hanya diakses terbatas, maka foto-foto yang beredar pun di dalamnya sangat dikontrol.

Tidak semua ruangan diperbolehkan ambil foto-foto.



Yang perlu digarisbawahi adalah bukan karena viralnya foto tersebut Mas Iwan diberhentikan.

Tapi karena foto tersebut disebar ke publik tanpa ada klarifikasi, tanpa ada penjelasan dan dalam pemeriksaan pengawas internal ditemukan pelanggaran etik, bahkan Mas Iwan sendiri melakukan dengan sengaja framing bahwa bendera tersebut bukti bahwa ada Taliban di KPK.

Mungkin Mas Iwan tidak tahu bahwa saat itu isu Taliban tengah dilemparkan ke publik untuk menyerang kredibilitas KPK.

Sehingga kepercayaan publik menurun bahkan mempertanyakan kenetralan KPK.
Padahal saat itu KPK sedang butuh-butuhnya dukungan publik karena menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Beredarnya foto tersebut dinilai merugikan citra KPK di mata publik.

3. Bagaimana nasib pegawai KPK yang mejanya terdapat bendera tsb?

Perlu diketahui, meja tersebut milik pegawai negeri yang sedang dipekerjakan (PNYD) di KPK.

PNYD yang dimaksud adalah ASN dari kementerian atau lembaga pemerintah lain, polisi, dan jaksa yang dipekerjakan KPK dengan batas waktu maksimal 10 tahun.

Proses rekruitmennya tentu dilakukan lewat mekanisme masing-masing instansi.

Sehingga dalam proses alih status pegawai KPK kemarin tidak mengikuti TWK yang kontroversial.



Kan statusnya sudah ASN dong.

Pemilik meja bukan pegawai independen KPK yg proses rekruitmennya dilakukan oleh KPK secara mandiri.

Bendera tersebut berada di meja dari seorang jaksa, dan jaksa tersebut bukan bagian dari 57+ yang disingkirkan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi.

Kembali ke soal bendera, sama dengan Mas Iwan, pemilik meja yang ada benderanya, diperiksa juga oleh Pengawas Internal KPK.

Bahkan ia diperiksa juga oleh instansi asalnya.

Dicari juga kronologi kenapa bisa bendera tersebut masuk dan tersimpan di meja tersebut.

Pemilik meja juga diperiksa sama dengan Mas Iwan apakah memiliki keterkaitan dengan gerakan dan organisasi tertentu?

Dan kesimpulannya pemilik meja tidak memiliki keterkaitan dengan afiliasi tertentu.

Tidak ada perlakukan yang berbeda dalam pemeriksaan di Pengawasan Internal KPK.



Informasi yang saya dapatkan dari salah satu Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP), dalam proses persidangan, Mas Iwan terbukti melakukan kesalahan dan mengakuinya.

Mas Iwan ini dinyatakan bersalah atas: masuk ruang kerja yang bukan menjadi ranah/kewenangannya, terbukti dengan sengaja dan tanpa hak telah menyebarluaskan informasi tidak benar kepada pihak eksternal, Menuduh orang terlibat HTI tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu.

Di samping itu, Mas Iwan sendiri tidak profesional, apabila ia memiliki dugaan atas pelanggaran etik lewat bendera tersebut, harusnya ia melaporkan ke atasan langsung.

Namun yang dilakukan olehnya adalah menyebarluaskan ke publik.

4. Dalam proses persidangan etik Dewan pertimbangan pegawai (DPP) memanggil saksi ahli yang dapat menjelaskan apakah benar bendera tersebut adalah bendera HTI.

Saksi ahli yang dipanggil adalah orang yang memiliki pemahaman yang tinggi tentang perbedaan-perbedaan bendera.

Sehingga DPP dapat mengambil kesimpulan yang objektif dalam sidang etik tersebut.

Informasi yang saya dapatkan, saksi ahli yang diundang adalah tim ahli dari Kemenag RI.

Pemilihan tersebut tentu mempertimbangkan posisi perwakilan bisa jadi jembatan yang netral untuk masukan para Dewan Pertimbangan Pegawai.
Penjelasan saksi ahli menyimpulkan bahwa bendera tersebut bukan bendera HTI.
(Penjelasan siapa saksi ahli diedit tgl 3 Okt).

5. KPK mewajibkan pegawainya untuk netral dari berbagai afiliasi, entah himpunan, ikatan profesi, parpol, bahkan organisasi massa.

Saya sendiri pun menandatangani pakta integritas tersebut di awal bekerja.
Saya harus melepaskan berbagai identitas yang pernah melekat seperti: Alumni PMII, IPPNU, dan terakhir GUSDURian.

Sehingga tidak bisa dibenarkan bahwa foto bendera yang diasumsikan HTI tersebut menjadi bukti bahwa ada Taliban di KPK tanpa mengetahui konteks dan kronologi mengapa bendera tersebut ada di lt.10.

Saya kira penuduhan Taliban itu tidak bisa menjadi pembenaran bahwa 57+ pegawai KPK pantas diberhentikan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi.

Karena faktanya di dalam 57+ pegawai KPK tersebut ada 6 orang nasrani (salah satunya adalah pendiri Oikumene KPK), ada budhis, ada hindu, dan ada sebagian besar nahdliyyin seperti saya contohnya.

Informasi sampingan yang cukup menarik diketahui, pejabat yang memantau dan memastikan sidang etik ikut disingkirkan lewat Tes Wawasan Kebangsaan.
Padahal beliau ini juga menegur pegawai yang mejanya terdapat bendera tersebut.

Kami terus melakukan perlawanan bukan karena masalah pekerjaan semata, tapi karena ketidakrelaan kami KPK menjadi kehilangan ruh pemberantasan korupsi seperti transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam peralihan status pegawai.

Mungkin demikian penjelasan saya yang panjang.

Hal ini saya lakukan supaya teman-teman bisa mengambil pelajaran untuk terus melakukan konfirmasi terhadap setiap berita/informasi yang beredar.

Supaya kita terhindar dari jebakan stigma dan prasangka yang berlebihan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya