SOLOPOS.COM - Doddy Prawiranegara saat mengikuti sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Senin (27/2/2023). (ANTARA / Walda)

Solopos.com, JAKARTA — Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel berpendapat hukuman terhadap mantan Kapolres Bukit Tinggi AKBP Dody Prawiranegara, terdakwa kasus peredaran sabu mantan Kapolda Sumatra Barat Teddy Minahasa, layak diperberat.

Pendapat Reza yang dibagikan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (11/5/2023), berseberangan dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menjatuhkan pidana penjara selama 17 tahun serta denda Rp2 miliar.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Alih-alih sependapat dengan hakim, saya justru menangkap kesan kuat bahwa DP tidak mengakui perbuatannya. Karena dia tidak mengakui perbuatannya, maka hukuman terhadap DP patut diperberat,” kata Reza seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Reza menilai putusan hakim terhadap AKBP Dody terlalu didasarkan pada pengakuan bukan pembuktian.

Padahal, pengakuan berpotensi besar mengganggu pengungkapan kebenaran dan menghambat proses persidangan.

Ia berharap kerja pengadilan tinggi lebih berlandas pada pembuktian jika JPU atau DP mengajukan banding.

“Saya beda tafsiran terkait dengan ‘mengakui perbuatannya’ sebagai hal yang disebut hakim meringankan DP,” ujarnya.

Menurut Reza, selama persidangan, DP menyebut dirinya diperintah Teddy Minahasa dan takut untuk menolaknya.

Di sisi itu, Reza belum yakin dengan pengakuan yang disampaikan AKBP Dody Prawiranegara.

Alasannya, pertama jumlah sabu yang ia punya menunjukkan sabu-sabu di Jakarta bukan merupakan sabu yang ditukar dengan tawas yang berasal dari Bukittinggi.

Jika sabu ditukar dengan tawas, tidak jelas lokasi keberadaan tawasnya, tidak tersedia informasi bahwa sabu di Jakarta dan sabu di Bukittinggi adalah identik.

Secara matematik, lanjut dia, 5 kg sabu di Jakarta bukan berasal dari Bukittinggi, tidak diperlukan penukaran dengan tawas untuk memperoleh 5 kg sabu tersebut.

Yang kedua, kata dia, Dody Prawiranegara dua kali mengaku menolak perintah Teddy Minahasa, tapi tidak ada risiko buruk yang dia alami.

“Jadi, ketakutan yang DP sebut itu tampaknya mengada-ada,” katanya

Reza menyebut, bahasa psikologi forensik, superior order defence yang diangkat Dody Prawiranegara terpatahkan.

Dan karena ia menolak, maka putus keterkaitannya dengan instruksi Teddy Minahasa (sekiranya instruksi itu dianggap ada).

Ketiga, Dody Prawiranegara terindikasi punya kepentingan untuk memperoleh uang guna mendongkrak kariernya di Polri.

Dan keterlibatannya dalam peredaran narkoba merupakan caranya untuk memperoleh uang itu.

Lalu yang keempat, pertimbangan hakim bahwa Dody Prawidanegara tidak ikut serta menikmati hasil kejahatan bukan karena keputusan atau sikapnya sendiri.

“Tapi karena dia (Dody Prawiranegara) terlanjur diringkus Polda Metro Jaya. Andai dia tidak ditangkap polisi, mungkin dia akan menikmati hasil kejahatan,” ungkap Reza.

Reza menambahkan, dalam kasus ini Polda Metro Jaya tidak menyampaikan ke publik apakah Dody Prawiranegara juga menjalani tes urin dan bagaimana hasilnya, positif atau negatif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya