SOLOPOS.COM - Sejumlah pemuda pelaku tawuran dan balap liar mengambil wudhu di Masjid Katangka untuk diberikan bimbingan kesadaran saat proses pemberian bebas bersyarat restorative justice (RJ) usai ditahan di Polsek Rappocini, Makassar, Sulawesi Selatan. (Antara/HO/Dokumentasi Polsek Rappocini)

Solopos.com, JAKARTA–Polri buka suara terkait adanya dugaan praktik jual beli penyelesaian kasus dengan restorative justice. Polri memiliki layanan aduan yang dapat digunakan untuk melapor jika mengetahui ada indikasi terjadinya jual beli penyelesaian kasus dengan keadilan restoratif.

Sebelumnya, dugaan itu dibeberkan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Adang Daradjatun dalam rapat bersama Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), di Gedung Parlemen, Senin (16/1/2023).

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan pihaknya memiliki sistem pengawasan untuk mencegah praktik jual beli penyelesaian perkara melalui proses restorative justice.

“Sudah ada Dumas dan Propam Presisi, masyarakat bisa langsung mengadu secara online dan akan ditindaklanjuti,” kata Dedi kepada Antara saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (18/1/2023).

Dumas atau pengaduan masyarakat merupakan layanan kepolisian yang dimiliki Polri untuk mengakomodasi aduan masyarakat.

Polri meluncurkan aplikasi Dumas Presisi pada September 2021. Aplikasi itu untuk menyampaikan pengaduan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri.

Layanan pengaduan tersebut bisa langsung diakses masyarakat 24 jam dari mana saja tanpa perlu datang ke kantor polisi. Aplikasi Dumas Presisi bisa diunduh melalui Playstore.

Begitu pula bagi masyarakat yang mengetahui tindakan polisi melanggar hukum dapat melapor lewat aplikasi Propam Presisi.

Lahirnya kedua aplikasi ini agar kerja polisi dapat diawasi tidak hanya secara internal, tetapi juga secara eksternal. Sesuai dengan era keterbukaan saat ini.

Dedi menjelaskan penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice atau penyelesaian tanpa persidangan tersebut memiliki aturan, sehingga ada ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 6 /2019 tentang Penyidikan dan Perpol No. 8/2021 tentang Restorative Justice.

Perpol itu mengatur tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif yang akan digunakan sebagai acuan dasar penyelesaian perkara dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana guna dapat memberikan kepastian hukum.

Itu sebagaimana diatur dalam aturan tentang penghentian penyelidikan (SPP-lidik) dan penghentian penyidikan (SP3) dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif.

“Aturan itu yang menjadi dasar penyidik,” katanya pula.

Dia menegaskan apabila ada anggota Polri yang melakukan tindakan melanggar aturan tersebut atau melakukan praktik jual beli restorative justice merupakan pelanggaran etik yang dapat diproses dan ada sanksi tegas yang menanti.

“Kalau ada pelanggaran, maka penyidik melanggar kode etik bisa diproses, kalau terbukti pidana juga diproses. Sudah jelas dan setiap pelanggaran yang terbukti akan ditindak tegas,” terang Dedi.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dalam rilis akhir tahun, Sabtu (31/12) lalu, menyebut restorative justice yang dilakukan Polri bagian dari upaya untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat, sehingga tidak terulang lagi kasus seperti Nenek Minah, pencuri kakao.

“Kami melihat dari hasil survei, masyarakat rata-rata memang menginginkan terhadap kasus-kasus tertentu diselesaikan dengan restorative justice,” kata Sigit.

Pada 2022 penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif di kepolisian mengalami peningkatan sebanyak 1.672 perkara atau 11,8%. Pada tahun tersebut tercatat ada 15.809 pekara yang diselesaikan melalui keadilan restoratif. Sedangkan pada 2021, ada 14.137 perkara.

Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyelesaikan ribuan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice pada periode 2020-2022.

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan sudah ada 2.103 kasus yang diselesaikan Kejagung dengan menerapkan restorative justice.

“Terkait penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, sejak dicanangkan pada 2020, Kejaksaan sudah menghentikan penuntutan sebanyak 2.103 perkara,” kata Burhanuddin dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (23/11/2022).

Dia memerinci pada 2020 sebanyak 230 perkara diselesaikan dengan penerapan cara tersebut. Kemudian, pada 2021 sebanyak 422 perkara dan 1.451 perkara pada 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya