SOLOPOS.COM - Ilustrasi kampanye antikekerasan seksual. (rdk.fidkom.uinjkt.ac.id)

Solopos.com, JAKARTA–Polisi melanjutkan penyelidikan kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM).

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol. Agus Andrianto mengatakan keputusan melanjutkan penyelidikan kasus tersebut berdasarkan hasil rapat koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md. pada Rabu (18/1/2023).

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

“Rapat koordinasi dipimpin Menko Polhukam yang melibatkan kementerian, lembaga, sampai dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sudah memutuskan untuk perkara dibuka kembali,” kata Agus saat dimintai konfirmasi Antara di Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Dia melanjutkan kasus ini awalnya sudah dicabut. Namun, di kemudian hari ternyata pihak yang korban merasa ada wanprestasi dengan janjinya sehingga meminta perkara untuk dilanjutkan.

Agus menyebut pihaknya menginstruksikan Biro Pengawasan Penyidikan (Wassidik) Polda Jawa Barat untuk melakukan gelar perkara penetapan penyidikan lanjutan.

Menurut dia, kalau langkah ini tidak segera dilakukan pihaknya akan menarik perkara ke Bareskrim Mabes Polri.

“Kalau enggak jalan juga, ya kami tarik ke Bareskrim,” katanya.

Dia menegaskan langkah untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Mengingat kasus tersebut menjadi perhatian publik, karena adanya kejanggalan dalam penyelesaian awal perkara tersebut hingga penyidikannya dihentikan melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

“Untuk memberi rasa keadilan kepada masyarakat,” katanya lagi.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bogor menerima gugatan dan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan tiga tersangka kasus kekerasan seksual pegawai perempuan Kemenkop UKM.

Gugatan praperadilan yang terdaftar dalam Sistem Informasi Penanganan Pengadilan (SIPP) Negeri Kota Bogor dengan nomor perkara 5/Pid.Pra/2022/PN Bgr dan putusannya ditetapkan pada Kamis (12/1/2023).

Dengan putusan tersebut, maka status tersangka kasus kekerasan seksual terhadap ketiganya menjadi gugur.

Kasus dugaan kekerasan seksual terhadap pegawai perempuan Kemenkop UKM berinisial ND oleh empat rekan kerjanya terjadi pada 6 Desember 2019 yang sempat diusut oleh Polresta Bogor. Namun, penanganan kasus terhenti sebelum hasil penyidikan dinyatakan lengkap atau P21 setelah keluarga pelaku yang merupakan pejabat Kemenkop UKM mendatangi orang tua korban meminta berdamai, kemudian menikahkan korban dengan salah satu pelaku, serta mencabut laporan.

Akan tetapi kasus kembali mengemuka setelah pelaku yang dinikahkan dengan korban NB meminta bercerai dan menjadi viral hingga mendapat perhatian dari Kemenko Polhukam.

Kemenko Polhukam kemudian menggelar rapat bersama LPSK, Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), kejaksaan, dan Kemenkop UKM.

Hasil rapat tersebut berujung kepada keputusan Polresta Bogor mencabut SP3 kasus yang belakangan digugat melalui praperadilan oleh tiga dari empat tersangka.

Pada bagian lain, Menteri Menko Polhukam Mahfud Md. meminta Polri memeriksa personel penyidik Polresta Bogor yang menangani kasus tersebut.

Menurut dia, hal itu menjadi salah satu hasil Rapat Koordinasi (Rakor) Kemenko Polhukam yang menilai penyidik kasus tersebut sejak awal tidak profesional.

“Rakor tadi meminta Divisi Propam Polri untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyidik Polresta Bogor yang menangani perkara ini yang sejak awal sangat tidak profesional,” kata Mahfud dalam video pernyataan pers yang dirilis Rabu malam.

Mahfud menjelaskan setidaknya ada dua alasan mengapa Rakor Kemenkopolhukam meminta pemeriksaan terhadap penyidik Polresta Bogor tersebut.

Pertama karena telah mengeluarkan surat penghentian penyelidikan perkara (SP3) dengan dua surat yang berbeda ke alamat berbeda disertai alasan berbeda.

“Yang pertama surat pemberitahuan SP3 kepada jaksa menyatakan perkara di-SP3 karena restorative justice, tetapi surat pemberitahuan kepada korban menyatakan SP3 dikeluarkan karena tidak cukup bukti. Satu kasus yang sama diberi alasan yang berbeda kepada pihak yang berbeda,” katanya.

Padahal, lanjut Mahfud, pernyataan restorative justice atau keadilan restoratif telah dilaksanakan sekalipun sudah menyalahi aturan yang berlaku saat kasus terjadi, yakni Peraturan Kapolri No. 6/2019.

“Menurut Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, yakni di dalam pasal 12 yang berlaku ketika kasus ini diproses bahwa kasus-kasus yang bisa diberi restorative justice adalah kasus yang kalau diberi restorative justice tidak menimbulkan kehebohan, tidak meresahkan di tengah-tengah masyarakat, dan tidak mendapat penolakan dari masyarakat. Syarat ini tidak dipenuhi,” ujar Mahfud.



Selanjutnya, alasan kedua permintaan Rakor Kemenkopolhukam agar Polri memeriksa penyidik Polresta Bogor adalah karena yang bersangkutan memberikan penjelasan yang oleh hakim praperadilan di PN Kota Bogor dijadikan dasar bahwa pencabutan SP3 hanya berdasarkan hasil rakor di Kemenkopolhukam.

“Sebab dalam faktanya rakor di Kemenkopolhukam itu hanya menyamakan persepsi bahwa penanganannya salah, sedangkan projustitia-nya dibicarakan melalui gelar perkara internal di Polresta Bogor itu dilakukan,” katanya seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Kasus kekerasan seksual pegawai perempuan Kemenkop UKM berinisial ND oleh empat rekan kerjanya terjadi pada 6 Desember 2019.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya