SOLOPOS.COM - Mahasiswa berkumpul di Gedung Audotorium G.P.H. Haryo Mataram Universitas Sebelas Maret Solo, Senin (13/5/2024). Mereka mempertanyakan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). (Solopos.com/Joseph Howi Widodo)

Solopos.com, JAKARTA — Peningkatan signifikan uang kuliah tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi negeri atau PTN masih menjadi polemik di tengah meluasnya aksi protes yang muncul dari kalangan mahasiswa. Sejumlah pihak mengkhawatirkan program Indonesia Emas sulit tercapai, justru malah muncul Indonesia Cemas.

Dalam beberapa waktu terakhir, mahasiswa dari berbagai daerah menggelar aksi demonstrasi  yang menuntut penurunan nominal UKT di berbagai PTN.

Promosi Mantap! BRI Bagikan Mobil untuk Agen BRILink Berprestasi di Yogyakarta

Bahkan, perwakilan mahasiswa dari sederet PTN pun telah beraudiensi dengan DPR RI pada pekan lalu.

DPR RI, melalui Komisi X pun merespons aspirasi para mahasiswa. Mereka langsung membentuk panitia kerja atau Panja Biaya Pendidikan untuk membahas masalah itu.

Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) merespons bahwa permintaan penyesuaian UKT di PTN itu pun terkendala.

Alasannya, pendidikan tinggi bukanlah program utama pemerintah, tetapi tersier. Tanpa perubahan atas kebijakan UKT di PTN, pengamat pendidikan pun khawatir bahwa bonus demografi dapat berubah menjadi ‘bom demografi.

Setali tiga uang, baginya Indonesia Emas bisa saja berakhir sebagai Indonesia ‘cemas’.

Kuliah Kebutuhan Tersier atau Tertiary

Kemendikbud-Ristek sebenarnya telah menanggapi aksi protes atas kenaikan UKT di beberapa PTN yang ramai dikritik mahasiswa.

Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Ditjen Diktiristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie mengatakan bahwa Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) saat ini belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.

Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier, tidak masuk ke dalam program wajib belajar selama 12 tahun.

“Kita bisa lihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini bersifat pilihan,” katanya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa pemerintah saat ini fokus untuk pendanaan pendidikan wajib 12 tahun, dan perguruan tinggi tidak masuk ke dalam prioritas.

“Apa konsekuensi karena ini adalah tertiary education? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan difokuskan dan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar,” ujarnya.

Meski begitu, Tjitjik menjelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi harus dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat.

Adapun menurutnya, pemerintah telah mewajibkan ada dua kelompok UKT yaitu UKT 1 dengan besaran Rp500.000 dan UKT 2 dengan besaran Rp1.000.000.   

Dia menjelaskan bahwa proporsi UKT 1 dan UKT 2 sebesar minimum 20%. Hal ini untuk menjamin masyarakat yang tidak mampu, namun memiliki kemampuan akademik tinggi sehingga dapat mengakses pendidikan tinggi (tertiary education) yang berkualitas.

“Dalam penetapan UKT, wajib ada kelompok UKT 1 dan UKT 2 dengan proporsi minimum 20%. Ini untuk menjamin akses pendidikan tinggi berkualitas bagi masyarakat yang kurang mampu,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa perguruan tinggi memiliki kewenangan otonom untuk menetapkan UKT kelompok 3 dan seterusnya.

Namun, Tjitjik mengingatkan bahwa penetapan besaran UKT tetap ada batasannya yaitu untuk UKT kelompok paling tinggi maksimal sama dengan besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT).

Sebagai informasi, Undang-Undang No. 12/2012 tentang pendidikan Tinggi mengamanatkan bahwa pemerintah perlu menetapkan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).   

SSBOPT merupakan acuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang secara periodik direviu dengan mempertimbangkan capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah.

Tjitjik menjelaskan bahwa SSBOPT menjadi dasar pengalokasian Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan penetapan BKT. BKT merupakan dasar penetapan UKT untuk setiap program studi diploma dan sarjana.

Namun, saat ini intervensi pemerintah melalui BOPTN baru bisa menutup sekitar 30% biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Panja Biaya Pendidikan

DPR Komisi X DPR pun telah membentuk Panja Biaya Pendidikan untuk menelusuri dugaan salah tata kelola anggaran oleh pemerintah sehingga belakangan perguruan tinggi ramai-ramai naikkan UKT.

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menjelaskan, anggaran pendidikan setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20% dari APBN. Pada 2024, lanjutnya, ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan.

“Nah ini ada apa kok sampai ada kenaikan UKT besar-besaran dari perguruan tinggi negeri yang dikeluhkan banyak mahasiswa. Apakah memang ada salah kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain?” kata Huda dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/5/2024).

Oleh sebab itu, Komisi X telah membentuk Panja Biaya Pendidikan untuk menelusuri tata kelola anggaran pendidikan di Tanah Air.

Huda menyatakan, nantinya Panja Biaya Pendidikan akan memunculkan rekomendasi terkait perbaikan tata kelola anggaran pendidikan baik menyangkut pola distribusi, penentuan subjek sasaran, hingga jenis program oleh pemerintah.

“Kami berharap rekomendasi Panja Biaya Pendidikan ini bisa menjadi acuan penyusunan RABPN 2025,” ungkapnya.

Apalagi, Huda meyakini besarnya biaya pendidikan tinggi menjadi salah satu kendala utama rendahnya angka partisipasi kasar kuliah di Indonesia yang masih di angka 32,45% menurut data BPS 2023.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini pun membandingkan angka tersebut dengan sejumlah negara tetangga yang partisipasi pendidikan tingginya jauh lebih tinggi seperti Malaysia 43%, Thailand 49%, dan Singapura 91%.



Dia pun mengkritisi pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjani yang sebut pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier.

Menurutnya, pernyataan itu benar namun kurang tepat disampaikan pejabat publik yang urusi pendidikan tinggi.

Apalagi, sambungnya, pernyataan Tjitjik disampaikan dalam forum resmi temu media untuk menanggapi protes kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi.

Akhirnya, Huda merasa publik malah mengartikan bahwa pemerintah lepas tangan urusi masyarakat yang tidak punya biaya tapi ingin kuliah.

“Bagi kami pernyataan itu kian menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elit dan hanya untuk mereka yang punya duit untuk bayar Uang Kuliah Tunggal,” jelasnya.

 

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Geger soal UKT, Mencari solusi Biaya Murah Kuliah Demi visi Indonesia Emas”







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya