SOLOPOS.COM - Tangkapan layar kegiatan rlis Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) hasil Survei Nasional bertajuk Polarisasi politik di Indonesia : Mitos atau Fakta? di Jakarta, Minggu (19/3/2023). (ANTARA/Laily Rahmawaty).

Solopos.com, JAKARTA–Hasil survei nasional yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) mengungkap bahwa polarisasi politik di Indonesia nyata, baik pada dimensi dalam jaringan (daring) atau dunia maya maupun offline (dunia nyata).

Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Profesor Hamdi Muluk dalam rilis hasil survei nasional bertajuk Polarisasi Politik di Indonesia : Mitos atau Fakta? yang dipantau secara daring di Jakarta, Minggu (19/3/2023), mengatakan polarisasi masih kuat terjadi berdasarkan agama, polarisasi berbasis kepuasan kinerja pemerintah, serta berbasis sentimen antiluar negeri (asing dan aseng).

Promosi Pelaku Usaha Wanita Ini Akui Manfaat Nyata Pinjaman Ultra Mikro BRI Group

“Agama varian penyumbang terbesar polarisasi,” kata Hamdi dikutip dari Antara.

Selain agama, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah juga dapat menjadi penyumbang polarisasi. Hasil riset menunjukkan adanya sentimen berbasis antiluar negeri yang kerap disebut masyarakat antiasing atau aseng.

Menanggapi sentimen itu, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menepis adanya isu investasi Indonesia dikuasi oleh asing.

Bahlil selaku penanggap dalam rilis itu mengonfirmasi bahwa investasi Indonesia dari total Rp 1.207 triliun pada 2022 di luar sektor migas, keuangan, dan UMKM, sebesar 54% adalah investasi asing. Dari 54% itu negara paling besar yang masuk adalah Singapura sekitar US$13 miliar.

Namun, Bahlil menegaskan nominal US$13 miliar bukan sepenuhnya uang milik Singapura, tetapi juga sebagian berasal dari orang Indonesia yang ada di Singapura. Di negara Singa Putih itu terdapat pula warga Timur Tengah, Eropa, dan Asia.

“Jadi investasi kita 1.207 itu, 54% persen PMA [penanaman modal asing], 46% PMDN [penanaman modal dalan negeri], jadi kalau digabung dikomparasi ke bawah, sebagian yang asing dari Singapura sebagian masuk ke Indoensaia, maka PMDN kita lebih besar daripada PMA, karena duitnya orang Indonesia. Ccuma kita dikompor-komporin seolah-olah ini China, Korea, jepang,” kata Bahlil.

Kemudian terkait isu ketenagakerjaan, Bahli menjelaskan, izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia 80% milik dalam negeri. Pertambangan yang dikuasai asing adalah smelter (pablik pelebur).

Itu karena Indonesia belum memiliki teknologinya, biaya pendirian smelter yang mahal, pengusaha dalam negeri belum ada kepedulian ke arah tersebut, dan perbankan nasional yang tidak mau membiayai smelter.

“Maka yang terjadi adalah teknologinya kita bawa dari luar, kemudian uangnya kita bawa dari luar, terus kemudian kita antiasing. Kalau kita tidak mau asing masuk berarti kita akan menjadi negara yang lambat dalam proses hilirisasinya,” terangnya.

Bahlil juga mengingatkan bahwa narasi-narasi negatif soal investasi asing juga dibangun oleh para elite politik yang dulunya juga mantan aktivis.

Ia memastikan sebagai mantan aktivis yang berada di pemerintahan tidak akan melacurkan idealismenya.

Namun ia berpesan agar para elite politik untuk mencari narasi yang bagus dalam memenangkan kontestasi, agar tidak membuat pengubuan di masyarakat.

“Karena di Indonesia sebenarnya aman pertumbuhan ekonominya bagus, stabilitasnya bagus. Tetapi kita ditipu dengan isu-isu polarisasi yang tidak masuk akal, kampret-cebong, kayak tidak ada tema-tema lain yang lebih cerdas. Bukan berarti saya tidak mengakui adanya polariasasi, barang itu sudah ada sebelum kita lahir, sejak Adam dan Hawwa ada. Cuma harus diperlukan kecerdasan kita dalam mengelola,” kata Bahlil.

Jika polarisasi sudah terjadi, salah satu upaya untuk mengatasinya menurut Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdallah adalah dengan mengimbau kepada pemengaruh (influencer) agar tidak ikut dalam kontestasi politik tersebut.

Ia menyarankan para influencer puasa menahan diri tidak turun dalam acara dukung mendukung, melainkan justru mendinginkan suasana.

“Saya menganjurkan tokoh-tokoh bisa disebut sebagai influencer itu sebaiknya tidak ikut terlibat dalam poltik dukung mendukung,” kata Ulil.

Berbeda pendapat dengan Ulil, Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari khawatir saran Ulil tidak dijalankan oleh para influencer, karena ada contoh ulama yang mendukung calon.

Qodari memberikan saran paling fundamental yakni mengubah desain konstitusi, yakni pemenang pilpres cukup mayoritas sederhana dengan 40% atau 35% suara dalam satu putaran.

Menurut Qodari, aturan mengenai pemenang pilpres harus 50% plus 1 menjadi persoalan terjadinya polarisasi. Dengan aturan tersebut maka calon dipaksa menjadi dua kubu, karena sangat sulit bagi calon manapun menang dalam satu putaran.

Karena pemilihan diikuti multipartai, bila ada tiga calon dengan kekuatan relatif sama, sulit untuk bisa mencapai 50% plus 1 dalam satu putaran.

Pada akhirnya dibuat dua putaran. Jika ini terjadi maka akan mengalami pembelahan dan polarisasi yang terjadi dengan dimensi keagamaan.

“Menurut dari kaca mata ilmu politik saya, salah satu penyebab pengutupan yang ekstrem itu adalah desain konstitusi atau desain aturan, dan itu harus diubah. Kalau itu konstitusi lewat amandemen UU 1945,” kata Qodari.



Kesimpulan dalam rilis survei nasional tersebut, polarisasi politik fakta terjadi di Indonesia dan diprediksi kembali terjadi pada Pemilu 2024.

Hoaks menjadi salah satu ancaman terjadinya polarisasi, meski demikian, hal yang patut dihindari adalah politik polarisasi, sehingga masyarakat diajak jeli melihat calon dan elite politik yang memainkan politik polarisasi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya