SOLOPOS.COM - FOTO ARSIP: Mahasiswa meluber hingga ke kubah Grahasabha Paripurna ketika menggelar unjuk rasa yang menuntut reformasi menyeluruh, Selasa (19/5/1998). Unjuk rasa mahasiswa yang datang dari Jakarta dan sejumlah kota di Jawa dan sumatera tersebut berlangsung dengan aman. FOTO ARSIP ANTARA FOTO/Saptono/RF02/ss/hp/asf.

Solopos.com, SOLO — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik sejumlah poin perubahan yang diusulkan lewat revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dianggap bakal mengembalikan praktik dwifungsi TNI dan membahayakan demokrasi. Revisi undang-undang tersebut tengah dibahas di internal Mabes TNI.

Menurut koalisi, berdasarkan draf yang tertuang dalam paparan pembahasan RUU TNI, terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Promosi BRI Kembali Gelar Program Pemberdayaan Desa Melalui Program Desa BRILiaN 2024

Koalisi berpendapat pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI karena tidak memiliki nilai urgensi.

Selain itu, substansi perubahan yang diusulkan pemerintah dinilai bukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya.

“Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI,” demikian dikutip dari keterangan tertulis koalisi, Rabu (10/5/2023).

Hal pertama yang disoroti koalisi yaitu perubahan pada Pasal 3 Ayat (1) UU TNI. Pasal tersebut berbunyi, TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah presiden.

Sementara dalam UU TNI saat ini, Pasal 3 berbunyi, dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden.

Menurut koalisi, ketentuan tentang kewenangan presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer semestinya tetap dipertahankan.

Koalisi berpendapat dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh presiden dalam UU TNI berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

“Hal ini tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapi masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden. Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis,” tulis koalisi.

Kedua, koalisi mengkritik perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Menurut koalisi, usulan perubahan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukkan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.

Lewat revisi UU TNI tersebut, jenis OMSP dari semula berjumlah 14 bertambah menjadi 19. Koalisi menyatakan beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional.

“Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah,” kata koalisi.

Ketiga, koalisi menyoroti perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif.

Dalam Pasal 47 Ayat (2) yang diusulkan, prajurit aktif TNI bisa duduk di 18 kementerian lembaga, ditambah kementerian lain yang membutuhkan.

Menurut koalisi, ketentuan ini dapat membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang dipraktikan di era Orde Baru.

“Penting diingat, pada masa Orde baru, dengan dasar doktrin Dwifungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis dimana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya.”

Keempat, koalisi menyorot usulan perubahan pada pasal 65 ayat 2 yang dinilai memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Usulan perubahan pasal itu berbunyi, prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum.

Menurut koalisi, perubahan itu bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.

Koalisi menyatakan reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Dua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” beber koalisi.

Kelima, mengkritik perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan). Dalam revisi UU TNI Pasal 66 Ayat (1) yang diusulkan, TNI dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara.



Sementara dalam UU TNI saat ini, TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

Selain itu, dalam usul revisi Pasal 66 Ayat (2), disebutkan keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan ke Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan.

“Dengan perubahan tersebut, Menhan tidak hanya sekedar dilangkahi kewenangannya, tapi juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol pemerintah, dalam hal ini Kemhan, karena TNI dapat mengajukan sendiri dan langsung kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai dalam APBN,” kata koalisi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya