SOLOPOS.COM - Ilustrasi persiapan bilik untuk pemungutan suara pemilu (JIBI/Solopos/Dok.)

Pilkada Solo dinilai masih berpotensi diwarnai berbagai pelanggaran.

Solopos.com, SOLO — Pengamat menilai pilihan politik warga rawan terombang-ambing di detik-detik terakhir jelang Pilkada 9 Desember. Sejumlah upaya haram seperti politik uang (money politics), kampanye hitam (black campaign) hingga keberpihakan birokrasi dan penyelenggara pemilu dianggap dapat sewaktu-waktu mengubah peta persaingan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto, menilai warga belum sepenuhnya merdeka di bilik suara melihat praktik-praktik lancung yang masih bergentayangan hingga sekarang. Menurut Agus, money politics dan black campaign masih akan menjadi ujian pilkada tahun ini. “Dua praktik tersebut sangat mungkin mengubah peta politik jelang pilkada,” ujarnya saat berbincang dengan Espos, Senin (7/12/2014).

Agus mengatakan sejumlah wilayah seperti Sragen, Boyolali, dan Wonogiri rawan politik uang dan kampanye hitam mengingat tingginya tensi persaingan calon kepala daerah. Selain itu, dia menilai warga di daerah masih sangat permisif dengan budaya amplop jelang pilkada. Mantan Ketua KPU Sragen menyebut H-1 dan hari-H pilkada menjadi waktu paling rawan untuk praktik money politics. “Mulai sore sampai pagi saat coblosan, amplop-amplop dan selebaran gelap akan banyak bertebaran. Ini mesti diwaspadai penyelenggara pemilu,” kata dia.

Agus mendorong kesadaran publik untuk tidak menerima uang sebagai kompensasi pilihan di pilkada. Agus mengingatkan banyak kepala daerah yang tersangkut korupsi karena tersandera politik “biaya tinggi” saat pilkada. Dia mengatakan kualitas pembangunan suatu wilayah akan sangat bergantung kesadaran rakyat untuk memilih pemimpin tanpa intervensi. “Ungkapan terima uangnya, jangan coblos calonnya itu selemah-lemahnya iman. Lebih baik tidak menerima sama sekali.”

Agus juga mendorong warga memiliki nyali untuk melaporkan dugaan pelanggaran di pilkada. Menurut dia, keterbatasan personel penyelenggara pemilu berpotensi mengendurkan pengawasan di sejumlah kabupaten berwilayah besar seperti Wonogiri dan Klaten. “Peran masyarakat penting sebagai upaya kontrol. Mata warga ada di mana-mana.”

Pengamat politik dari UNS, Sunny Ummul Firdaus, menilai praktik money politics, black campaign hingga politisasi birokrasi tak akan berjalan optimal di Solo. Menurut Sunny, warga Solo sudah lebih kritis dan cerdas menyikapi upaya-upaya tersebut. Di sisi lain, dia juga beranggapan tim pemenangan pasangan calon di Solo tak akan melakuka praktik tersebut secara frontal.

“Sejauh ini kedua tim sukses cenderung melakukan politik pencitraan dengan sikap taat aturan. Namun hal ini bisa berbahaya kalau dalam tataran praktik hal itu tidak sejalan. Bisa jadi pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan dengan sangat soft, ibaratnya main cantik,” tuturnya.

Sunny mendesak Panwaslu maupun aparat berwajib memiliki kepekaan dalam mengendus dugaan pelanggaran. Dia menyebut petugas wajib memiliki kecerdasan di samping ketegasan. “Warga juga jangan memakan mentah-mentah tuduhan yang dilancarkan pasangan calon terhadap sebuah kasus sebelum ada bukti. Dalam politik tingkat tinggi, semua bisa dimanipulasi.”

Pengamat politik dan birokrasi, Didik G. Suharto, mengatakan upaya politisasi birokrasi tak bisa dikesampingkan di sejumlah daerah seperti Boyolali, Sragen dan Klaten. Menurut Didik, masyarakat harus kritis menyikapi penggiringan abdi negara ke salah satu pasangan calon. “Hal ini juga harus diimbangi konsistensi penegak hukum. Jangan sampai pelanggara berbiak karena nihil penanganan,” ucap dosen Administrasi Negara UNS itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya