SOLOPOS.COM - Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Magelang menulis perolehan suara saat digelar Rapat Pleno Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Magelang di Aula Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (2/11/2013). JIBI/Solopos/Antara Foto/Anis Efizudin

Pilkada Serentak 2015 masih menemui masalah klasik, yaitu data kependudukan.

Solopos.com, JOGJA — Pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 dinilai akan bermasalah. Lagi-lagi, penyebabnya adalah data kependudukan yang hingga kini belum mampu meng-cover seluruh penduduk, khususnya yang tinggal di luar daerahnya.

Promosi Bertabur Bintang, KapanLagi Buka Bareng BRI Festival 2024 Diserbu Pengunjung

Sistem pilkada di Indonesia dinilai tidak memperhitungkan mobilitas penduduknya yang sudah sangat tinggi. Padahal, banyak penduduk yang berada di luar alamat resminya, termasuk luar negeri, karena kepentingan pekerjaan dan pendidikan.

Kasus dihapusnya data 21.000 TKI asal Kabupaten Ponorogo sebagai calon pemilih dalam pilkada serentak 2015 dinilai menunjukkan pola pikir pemerintah daerah yang sangat administratif formal. Mereka dianggap tidak bisa melihat secara lebih luas bahwa TKI memberi kontribusi positif bagi daerah asalnya dengan mendatangkan remitansi.

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA menilai hal ini sebagai salah satu kelemahan mendasar dari Sistem Informasi Administrasi Kependudukan atau SIAK.

“Tempat tinggal masih didefinisikan secara statis. Lupa bahwa penduduk yang berangkat modern itu dinamis. Kini semakin banyak penduduk Indonesia yang memiliki mobilitas tinggi, bahkan memiliki tempat tinggal lebih dari satu,” katanya yang dilansir dalam siaran pers Media Center Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), Minggu (19/4/2015).

Menurut Muhadjir, hak penduduk untuk memilih jangan sampai dihilangkan hanya karena dia mengalami mobilitas. Mobilitas merupakan sesuatu yang positif bagi masyarakat.

“Jika saat pemilihan presiden hak TKI yang bekerja di luar negeri bisa diakomodasi, maka mengapa saat pilkada tidak bisa? Pemerintah perlu menciptakan sistem administrasi kependudukan serta sistem pilkada yang bisa mengakomodasi mobilitas penduduk yang sangat variatif,” katanya.

Muhadjir juga memberikan catatan terhadap adanya ketidakadilan bagi para pemilih dalam sistem pilkada. Pasal 56 ayat 3 Perppu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, menyebutkan jika pemilih mempunyai lebih dari satu tempat tinggal, maka pemilih harus memilih salah satu tempat tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan E-KTP dan/atau surat keterangan domisili dari kepala desa atau sebutan lain/lurah.

Namun, ada perlakuan yang berbeda jika seseorang hendak maju mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota. Para calon dimungkinkan untuk mencalonkan diri di daerah yang bukan domisilinya. Misalnya saat Pilgub Jakarta 2012 lalu Joko Widodo masih menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Alex Noerdin sebagai gubernur Sumatera Selatan.

“Seseorang dimungkinkan untuk menjadi calon kepala daerah di wilayah yang bukan domisilinya. Artinya, status kependudukannya bisa lebih dari satu tempat. Mengapa kemudian fleksibiltas ini tidak berlaku pula untuk para pemilih? Ada ketidakadilan yang sangat mendasar di situ,” kata Muhadjir lagi.

Masalah lain adalah tidak semua penduduk memiliki e-KTP karena berada di luar kategori yang berhak seperti gelandangan dan sejenisnya. Mereka tak punya e-KTP sehingga tidak bisa mengikuti pemilihan. Artinya, belum semua penduduk memiliki hak untuk memiih karena kemiskinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya