SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Antara)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Antara)

JAKARTA – Masyarakat seharusnya tidak perlu terlalu mempercayai lembaga survei yang merangkap menjadi konsultan calon yang bertarung dalam pemilihan kepala daearah.

Promosi Jaga Keandalan Transaksi Nasabah, BRI Raih ISO 2230:2019 BCMS

Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali mengatakan lembaga survei yang murni adalah yang mengeluarkan hasil survei dan memaparkan hasil survei apa adanya. Namun selain itu, ada juga lembaga survei yang merangkap menjadi konsultan sehingga perlu diwaspadai, ujar Effendi, Rabu (18/7/2012). “Lembaga survei masih bisa dipercaya, asalkan tidak merangkap menjadi konsultan. Oleh karena itu masyarakat jangan terlalu percaya terhadap hasil lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan,” ujarnya.

Lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan, ujarnya, mempunyai dua strategi tersendiri. Untuk internal, hasil survei itu mengungkapkan hasil survei yang sebenarnya. Namun untuk yang eksternal mereka suka melebih-lebihkan agar orang lain terpengaruh karena telah membentuk opini, ujarnya.

Dia menyontohkan dua lembaga survei di Amerika Serikat seperti Pew Reseach Center dan Rasmussen. Kedua lembaga survei itu, ujarnya, tidak menjadi konsultan kandidat yang bertarung dalam pemilihan. Pew merupakan lembaga nonprofit, sedangkan Rasmussen merupakan perusahaan yang melakukan riset, ujarnya.

Kendati demikian, Effendi mengaku tidak pernah tahu apakah ada lembaga survei yang seperti itu. Menurutnya, jika lembaga survei itu juga merangkap sebagai konsultan sebaiknya diberi tahu terlebih dahulu.

Ketua Fraksi PKS di DPR, Almuzzammil Yusuf menilai kampus harus bisa menggantikan peran lembaga survei. Pasalnya, hasil Pilkada DKI membuktikan lembaga survei itu partisan dan lebih kuat orientasi bisnisnya daripada menjaga idealisme keilmuan survei.

“Pilkada DKI ini telah membuktikan kepada kita beberapa lembaga survei ternama diduga melakukan manipulasi hasil survei untuk menggiring opini publik agar mendukung kandidat tertentu,” ujar Muzzammil. Sependapat dengan Effendi, politisi tersebut mengatakan seharusnya lembaga survei memotret realitas sosial yang sebenarnya. Dia menyebutkan lembaga survei tidak boleh memanipulasi hasil survei untuk kepentingan kandidat tertentu. “Dalam kaidah keilmuan jika ada kesalahan bisa ditolerir. Tapi jika tidak jujur, memanipulasi hasil survei untuk menggiring opini publik, ini merupakan kebohongan publik yang harus dihentikan,” katanya.

Untuk itu, Muzzammil berharap perguruan tinggi yang memiliki idealisme keilmuan bisa mengambil alih peran lembaga survei. Dengan demikian, kepercayaan publik kembali pulih kepada keilmuan survei. “Kita ingin muncul lembaga survei dari kampus yang menjunjung tinggi idealisme keilmuan lebih kuat daripada kepentingan bisnis. Sehingga keilmuan survei tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang berpandangan pragmatis,” ujarnya. Muzzammil berharap lembaga survei turut menjaga dan mendukung atmosfir demokrasi yang mendidik dan sehat dengan menyampaikan hasil survei yang sebenarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya