SOLOPOS.COM - Suasana di Warung Hik Pak Wawan Gereh di wilayah Gonilan, Kartasura, Sukoharjo. Foto diambil pada Selasa (23/5/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo)

Solopos.com, SUKOHARJO – Salah satu angkringan atau warung hik yang ramai diserbu pembeli di wilayah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) adalah Hik Pak Wawan Gereh. Angkringan ini berlokasi di Desa Gonilan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.

Warung hik atau hidangan istimewa kampung atau kerap dikenal dengan angkringan selalu menjadi pilihan kuliner di Solo dan sekitarnya. Referensi tempat kuliner malam ini selalu ramai diserbu pembeli.

Promosi Harga Saham Masih Undervalued, BRI Lakukan Buyback

Biasanya menjelang petang, di sekitar Jl. Slamet Riyadi, Kota Solo, banyak ditemukan deretan angkringan berjejer. Selain itu, angkringan bisa dengan mudah ditemukan di wilayah kampus.

Salah satu angkringan yang ramai diserbu pembeli di wilayah UMS adalah Hik Pak Wawan Gereh. Wawan selaku pemilik angkringan menjelaskan ia sudah buka sejak 2008 hingga sekarang. Selama 15 tahun berjualan, ketika Kampus 4 Kedokteran UMS dibangun angkringan miliknya makin ramai pembeli. Awalnya. ia hanya berjualan di tenda, tepat di depan rumahnya. Saat ini depan rumahnya disulap menjadi warung kecil dengan gerobak khas angkringan.

Rata-rata dalam sehari, angkringan miliknya mampu dikunjungi oleh ratusan pembeli. Dulunya ia hanya warga sekitar kampung saja yang menjadi pelanggannya. Namun faktor lokasi yaitu dekat kampus dan berada di wilayah indekos menjadikan mahasiswa sebagai konsumen terbanyak.

Wawan berkisah dulunya ia bekerja sebagai teknisi pabrik. Ia kerap berpindah-pindah perusahaan karena tidak menyukai pekerjaan yang terikat kontrak dengan orang lain.

“Sebelumnya kerja pabrik gula enam tahun, di Tyfountex tujuh bulan, di Semarang tiga bulan, dan Jakarta sepekan,” ujar Wawan saat ditemui Solopos.com pada Selasa (23/5/2033) malam.

Setelah memutuskan berhenti bekerja, ia akhirnya membuka usaha toko kelontong. Namun usaha toko kelontong tersebut juga tidak bertahan lama. Karena ketika toko kelontongnya yang mestinya tutup pukul 24.00 WIB, ia malah kerap keluar rumah ketika malam.

Ia mengaku suka berpergian waktu malam. Ia menyadari kegemaran keluar malam itu membuat waktu dan uangnya terbuang sia-sia. Biasanya ketika main ia menghabiskan waktu untuk jajan dan merokok.

Akhirnya ia memutuskan untuk membuka angkringan dan hanya berjualan waktu malam. Ia berjualan mulai pukul 16.00 WIB hingga 04.00 WIB. Alasannya sederhana, agar ia berhenti main malam. Jadi waktu begadangnya ia gunakan untuk berjualan. “Saya memutuskan tidak main [ke luar rumah] tapi dimaini [dikunjungi] orang-orang tapi dapat hasil itu gimana,” tambah Wawan.

Di warung hik miliknya, ia menyajikan aneka gorengan, tusukan satai, dan beragam nasi. Mulai dari nasi bandeng, nasi oseng, dan nasi goreng dijual seharga Rp2.500/bungkus.

Ia menyediakan sebanyak 300 hingga 350 buah pada masing-masing ragam kuliner yang ia jual. Biasanya stok makanan hanya dipasok oleh warga sekitar, ia hanya mengambil untung paling tidak Rp500/makanan.

Salah satu pembeli, Dyah, menjelaskan dari banyaknya pilihan angkringan di sekitar kampus, di Warung Hik Pak Wawan Gereh paling lengkap. Selain lengkap, lokasinya cukup luas dan nyaman. Menurutnya, makan di angkringan cukup terjangkau. Dengan Rp10.000 sekali makan cukup untuk membuat perutnya kenyang.

Dilansir dari laman, surakarta.go.id, angkringan adalah sebutan untuk tempat berjualan yang menggunakan alat berbentuk melengkung ke atas, atau menggunakan gerobak dorong yang banyak dijumpai di wilayah Yogyakarta, dan Jawa Tengah termasuk Solo.

Akan tetapi warga Kota Batik justru tidak familiar dengan sebutan angkringan, karena di Solo tempat semacam ini lebih sering disebut dengan hik. Banyak orang meyakini asal muasal tempat berjualan ini justru berasal dari Solo yaitu pada tahun 1940 dan menyebar ke Yogya pada tahun 1950-an.

Sebutan hik sendiri diawali karena dulunya penjual angkringan di Solo berjualan dengan berteriak “Hik…yeek,” dan ketika penyebutan hik masih banyak digunakan di Solo, di Yogyakarta masyarakat mulai menyebutnya sebagai angkringan. Hingga akhirnya pada 1990, angkringan atau hik ini semakin menyebar dan digemari oleh banyak orang.

Angkringan atau hik sudah banyak digemari sebagai tempat pada tahun 1990, jauh sebelum menjamurnya kafe dan restoran kekinian. Hal ini disebabkan karena makanannya yang relatif sangat murah namun enak dan beragam jenisnya. Hal ini juga tidak dapat dipisahkan dari budaya angkring yang dipercaya dapat menciptakan kerekatan sosial antar masyarakat.

Pada perkembangannya, angkringan dan hik tidak memiliki banyak perbedaan signifikan, kecuali penyebutannya yang berbeda di Yogyakarta, Klaten, dan Solo. Tapi ternyata ada beberapa hal yang membedakan, misalnya makanan di HIK Kota Solo memiliki bumbu yang sedikit lebih pedas daripada angkringan Yogyakarta.

Beberapa hik yang bisa menjadi destinasi di Kota Solo, misalnya angkringan Solo Flyover, Wedangan Pendopo, Wedangan Pak Dhie, Wedangan Omah Lawas, Wedangan Tiga Tjeret, Wedhangan Waroeng Keroepoek, Wedhangan Sri Rejeki, Wedangan Pakem dan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya