SOLOPOS.COM - Demo buruh di Jogja 1 Mei lalu (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Demo buruh di Jogja 1 Mei lalu (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Di masa Orde Baru, tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh, tidak pernah diperingati, meski tidak ada larangan resmi.

Promosi Direktur BRI Tinjau Operasional Layanan Libur Lebaran, Ini Hasilnya

Di masa Reformasi, Hari Buruh (May Day) dirayakan kembali, dan selalu ditandai dengan aksi massa atau pawai besar-besaran kaum buruh, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung, di mana pinggiran kotanya menjadi kawasan industri. Pada setiap 1 Mei itu, mereka berpawai sembari menyampaikan aspirasi, terkait upah, sistem kerja dan kesejahteraan,

Meski selalu didera soal upah rendah, hidup sangat sederhana, namun mereka tidak berhenti berjuang. Hidup dalam “lingkaran setan” seperti itu, tak menyurutkan semangat mereka untuk terus berjuang.

Soal perjuangan kaum buruh inilah yang menjadi tema diskusi Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H.

Perbincangan kali ini mengundang tiga narasumber, masing-masing Sahat Sinurat (Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Jimanto (Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia), dan Baris Silitonga (Ketua Komite Pekerja Muda Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, KSPI)

Menurut Baris Silitonga, pada kenyataannya masih sering terjadi pembatasan pembentukan SP (serikat pekerja), bila sudah ada SP, aktivitasnya yang dibatasi. Pembatasan, atau lebih jauh lagi pemberangusan, jelas sangat melanggar UU dan juga Konvensi ILO.

Kalau bicara pemberangusan serikat pekerja, menurut Baris, sebenarnya tetap ada, namun kerap kali dibungkus secara baik oleh pengusaha dengan cara bermacam-macam. Semisal membentuk serikat pekerja tandingan. Memang itu diperbolehkan UU, tapi isinya “para manajemen” yang membuat, dan tidak mengakar di buruh.

Sementara Jimanto berpendapat, tidak menganggap SP sebagai ancaman. Jimanto menambahkan, kaum pengusaha sebetulnya sedih dan merasa rugi juga kalau buruhnya tidak sejahtera. Karena perusahaan atau pabrik itu dimonitor konsumen, kalau perusahaan memperlakukan buruh tidak adil, itu bisa berakibat produk tidak laku. Juga diawasi dunia, ada suatu code of conduct di mana aspek sosial buruh harus dihormati dan dijalankan.

Sahat Sinurat berpandangan, SP sesungguhnya mitra perusahaan. Taruhlah perusahaan itu memahami keberadaan SP, bahwa pengusaha itu akan mengharapkan terbentuknya SP. Dengan terbentuknya SP, komunikasinya akan lancar karena tidak mungkin pengusaha akan berkomunikasi ke masing-masing pekerja.

“Sesungguhnya pekerja itu bebas membentuk SP, Kemennakertrans selalu mendukung, membina terbentuknya SP di perusahaan,” tegas Sahat.

Jimanto menegaskan, buruh adalah unsur terpenting dari perusahaan, selain pemilik dan pengelola. Sebetulnya antara pengusaha dan pekerja ini senasib sepenanggungan mengembangkan perusahaan. Seperti jika ada pembebanan high cost itu bagian dari ongkos, itu jadi beban perusahaan, penderitaan pekerja dan pengusaha.

Baris Silitonga mengakui, terjadinya pembatasan para aktivis SP atau pembentukan SP, biasanya di perusahaan Korea, Taiwan, Singapura dan Malaysia. Kalau ada buruh yang ingin membentuk SP langsung dimutasikan. Memang betul mutasi itu tidak dilarang. Tapi kenapa pada saat akan membentuk SP, langsung dimutasi, ada juga yang langsung diskorsing. Mutasi seharusnya jangan mengurangi hak dan pendapatan pekerja tersebut.

Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H.  Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya