SOLOPOS.COM - Museum Sumpah Pemuda tampak dari depan (kemdikbud.go.id)

Solopos.com, JAKARTA–Menurut sejarah, peristiwa Kongres Pemuda II dilaksanakan di tiga tempat yang berbeda. Kongres hari pertama yang berlangsung pada 27 Oktober 1928 diadakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond.

Melansir dari kemdikbud.go.id, Jumat (21/10/22), kegiatan tersebut diawali dengan sambutan ketua kongres, Soegondo Djodjopoespito.

Promosi BRI Group Berangkatkan 12.173 Orang Mudik Asyik Bersama BUMN 2024

Dalam pidatonya, Soegondo berharap agar kongres tersbut dapat membawa semangat bersatu bagi seluruh pemuda Indonesia. kemudian, agenda dilanjutkan dengan penyampaian pidato oleh Mohammad Jamin mengenai 5 faktor yang dapat memperkuat persatuan. Yakni sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan yang terpenting adalah kemauan.

Pada hari berikutnya, 28 Oktober 1928 rapat diadakan di Gedung Oost-Java Bioscoop. Agenda terdiri atas penyampaian pidato dari Nona Poernowomowulan serta Sarmidi Mangoensarkoro. Keduanya membahas seputar isu pendidikan.

Baca Juga: Perempuan dan Kontribusinya dalam Sumpah Pemuda

Tak berhenti sampai di situ, kegiatan kongres kemudian masih berlanjut di sore harinya. Namun dilaksanakan di tempat yang berbeda. Yakni di Gedung Indonesische Clubhuis. Di sinilah, rumusan resolusi yang dikenal sebagai naskah Sumpah Pemuda diikrarkan.

Lantas, bagaimana sejarah gedung tersebut? Masih dilansir dari kemdikbud.go.id, gedung yang kini dikenal sebagai Museum Sumpah Pemuda itu mulanya pada 1908 disebut dengan Commensalen Huis.

Diketahui, gedung tersebut sempat menjadi kediaman tempat tinggal milik Sie Kong Lian. Namun pada 1908 bangunan yang didirikan pada awal abad ke-20 tersebut disewa oleh pelajar School tot Opleiding van Indlandsche Artsen (Stovia) dan Rechts School (RS) untuk dipergunakan sebagai tempat tinggal (indekos) serta tempat belajar.

Di antara mahasiswa yang pernah tinggal di Commensalen Huis adalah Mohammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi, Assaat, Abu Hanifah, Abas Hidayat, Ferdinand Lumban Tobing, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amid, Roesmali, Moh. Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokogintan, serta Katjasoengkana.

Pada 1927, gedung tersebut kemudian beralih menjadi Indonesische Clubhuis/Clubgebouw. Gedung tersebut menjadi markas bagi para pemuda untuk berkumpul dan mengawali pergerakan pemuda.

Baca Juga: Solo, Kota Terbentuknya Persatuan Indonesia Muda Pasca-Sumpah Pemuda

Diceritakan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dahulu bersama dengan Algemeene Studies Club juga sering ke sana.

Tujuannya tak lain untuk membahas format perjuangan bangsa dengan para penghuni IC. Beberapa pertemuan pemuda pernah diselenggarakan di sini seperti Kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, dan juga Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).

Bahkan gedung tersebut juga sempat digunakan sebagai kantor sekretariat PPPI serta secretariat majalah Indonesia Raja keluaran PPPI. Sejarah penggunaan gedung tersebut yang sering digunakan oleh berbagai organisasi, maka bangunan yang dulunya bernama Langen Siswo kemudian berubah menjadi Indonesia Clubhuis atau Clubgebouw yang berarti gedung pertemuan.

Pada 1928, gedung ini kemudian menjadi awal direncanakannya kegiatan Kongres Pemuda II yang diketuai oleh Soegondo. Kongres Pemuda II merupakan kelanjutan dari pertemuan-pertemuan para pemuda sebelumnya yang dianggap belum mendapatkan hasil maksimal, termasuk pada saat Kongres Pemuda I.

Di gedung inilah, naskah rumusan resolusi yang dicetuskan oleh Moh. Yamin berisikan tiga poin penting para terwujudnya persatuan tercipta. Tiga poin tersebut diantaranya adalah komitmen untuk bertanah air satu, berbangsa satu serta berbahasa satu, Indonesia.

Baca Juga: Teks Doa Hari Sumpah Pemuda 2022, yang Bisa Dibaca saat Upacara

Tak hanya itu, lagu Indonesia Raya meskipun tanpa syairnya untuk kali pertama diperdengarkan kepada khalayak juga dilakukan di gedung tersebut ketika Kongres Pemuda II berlangsung.

Meskipun menjadi tempat lahirnya naskah Sumpah Pemuda, bangunan tersebut tak serta merta langsung dijadikan Museum Sumpah Pemuda. Diketahui bahwa pada 1934-1937 gedung tersebut pernah beralih fungsi kembali sebagai rumah tinggal Pang Tjem Jam. Hal tersebut karena para pemuda tak lagi melanjutkan sewanya.

Lalu pada 1937-1948, bangunan tersebut juga pernah disewa oleh Lonh Jing Tjoe dan digunakan sebagai toko bunga. Tiga tahun berlalu, toko bunga tersebut kemudian berubah fungsi lagi menjadi sebuah penginapan yang dinamai Hotel Hersia sampai dengan 1951.

Dan pada 1951 sampai dengan 1970, Hotel Hersia kemudian kembali beralih fungsi dan dipergunakan sebagai Kantor Inspektorat Bea dan Cukai sebelum akhirnya pemerintah memutuskan untuk menjadikan bangunan tersebut sebagai Museum Sumpah Pemuda pada 1973.

Pemda DKI Jakarta memutuskan untuk menjadikannya Museum tak lain karena sejarah panjang yang dimiliki gedung tersebut Karena  disitulah, sejarah persatuan para pemuda dari seluruh penjuru negeri dimulai.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya