SOLOPOS.COM - Presiden Joko Widodo alias Jokowi dengan seragam Kostrad (JIBI/Solopos/Antara/Nova Wahyudi)

Perlambatan ekonomi membuat pemerintah pusat ingin pemda bergerak. Namun, kekhawatiran adanya kriminalisasi dinilai menghambat.

Solopos.com, BOGOR — Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta penegak hukum tidak melakukan kriminalisasi terhadap kebijakan pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan di tengah perlambatan ekonomi.

Promosi Direktur BRI Tinjau Operasional Layanan Libur Lebaran, Ini Hasilnya

Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, mengatakan saat ini banyak kepala daerah yang takut terjerat kasus hukum karena kebijakan yang diambil untuk mempercepat pembangunan di wilayahnya. Padahal, saat ini dibutuhkan terobosan untuk mengantisipasi dampak pelemahan ekonomi global.

“Saya minta kepada semua aparat hukum agar jangan kriminalisasikan kebijakan. Harus ada diskresi untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan,” kata Presiden Jokowi di Bogor, Senin (24/8/2015).

Teten Masduki menuturkan lambannya kerja birokrasi di beberapa daerah juga ikut menghambat upaya pemerintah untuk melaksanakan programnya. Padahal, salah satu langkah yang paling efektif untuk menggenjot perekonomian nasional saat ini adalah meningkatkan belanja negara.

Belanja negara, lanjut Teten Masduki, dapat mendorong roda ekonomi, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Apalagi, belanja APBN saat ini baru mencapai 50%, dan realisasi belanja modal hanya 20% dari yang dianggarkan. “Dana daerah yang masih mengendap di daerah juga masih sangat besar, senilai Rp273 triliun,” ujarnya.

Dia juga menyebutkan Presiden Jokowi menilai persoalan ekonomi saat ini sangat mendesak untuk diselesaikan. Nilai rupiah terus melemah, karena dipengaruhi faktor eksternal seperti kasus Yunani di Uni Eropa, kenaikan suku bunga AS, devaluasi mata uang Yuan, hingga konflik Korsel-Korut.

Hingga kini cukup banyak pejabat yang terjerat kasus hukum karena kebijakannya. Setidaknya delapan menteri, 19 gubernur, dua Gubernur BI, lima Deputi Gubernur BI, 40 anggota DPR, 150 anggota DPRD, dan sekitar 200 bupati/walikota pernah menjalani persidangan.

Tidak jelasnya definisi korupsi, maraknya kriminalisasi kebijakan, dan prosedur hukum yang kurang jelas dan tidak transparan. menjadi penyebab pembuat kebijakan tersebut tersandung masalah hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya