SOLOPOS.COM - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo. (Wahyu Darmawan/JIBI/Bisnis)

Perlambatan ekonomi dan gejolak diprediksi akan berlanjut sampai tahun depan.

Solopos.com, JAKARTA — Periode volatilitas nilai tukar rupiah, harga saham, dan imbal hasil obligasi negara diprediksi berlanjut minimal hingga akhir tahun. Hal ini seiring dengan keputusan The Federal Reserve (The Fed) yang menunda normalisasi moneter dalam pertemuan September 2015, termasuk suku bunga (The Fed Fund Rate).

Promosi Dirut BRI dan CEO Microsoft Bahas Akselerasi Inklusi Keuangan di Indonesia

Dengan tertahannya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat itu, pasar menilai the Fed juga memberikan sinyal bahwa pemulihan ekonomi Paman Sam dan global secara keseluruhan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.

Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro mengemukakan situasi psikologis pasar menjadi kembali sebelum Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) digelar. Artinya, kata Andry, tiap pertemuan FOMC pada bulan-bulan mendatang, pasar akan mengalami nervous.

“Tantangan untuk [stabilisasi nilai tukar] rupiah masih sama, ditambah faktor risiko dari perlambatan China dan gejolak Eropa yang sewaktu-waktu bisa meledak lagi,” ujarnya, Jumat (18/9/2015).

Dia menjabarkan, dalam satu-dua tahun terakhir seusai booming harga komoditas, situasi menjadi berbalik bagi negara berkembang dari motor pendorong ekonomi global menjadi risiko.

Dalam sejumlah pernyataan resmi sebelum hasil FOMC diumumkan, pemerintah dan bank sentral menyatakan ada indikasi lahirnya fenomena reprice dan realokasi terhadap harga aset (obligasi dan saham), nilai tukar, dan komoditas. Pada gilirannya, fenomena ini turut berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan produk domestik bruto di sejumlah negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.

DBS Bank, bank yang bermarkas di Singapura, bahkan menyebut terus bertahannya Fed Funds Rate merupakan preseden dari “dunia baru”. DBS menyampaikan the Fed begitu mewaspadai apa yang telah dan akan China lakukan karena memberi dampak signifikan terhadap pemulihan AS.

“Saat ini, orang tidak lagi berbicara mengenai kenapa AS belum pulih dan dampaknya ke negara-negar di dunia. Orang-orang kini berdebat mengenai seberapa besar dampak China terhadap AS,” ujar DBS dalam risetnya.

Sementara itu, Deutsche Bank menyatakan Indonesia dan negara berkembang lain bisa menangani ekses buruk dari langkah the Fed justru melalui dorongan dari sisi fiskal. Menurut bank yang berbasis di Jerman ini, penting bagi emerging countries untuk tetap menjaga kekokohan konsumsi rumah tangga.

Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengakui nilai tukar rupiah masih akan mengalami periode tertekan yang ditransmisikan melalui rendahnya harga komoditas. Selain itu, Agus melanjutkan tekanan lain juga berasal dari kondisi transaksi berjalan yang masih defisit.

Namun, Gubernur BI menegaskan tidak ada yang perlu dikhawatikan dari kondisi fundamental. “Inflasi kita membaik, defisit transaksi berjalan juga menyempit. Kalau ada capital outflow, itu benar-benar karena pengaruh AS,” tuturnya.

Pada kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menuturkan ada indikasi peningkatan spekulasi mata uang akan terus terjadi di negara-negara berkembang akibat hasil FOMC tersebut. “Karena itu, pemerintah, BI, dan OJK akan selalu menjaga stabilitas ekonomi, stabilitas keuangan, agar bisa melewati masa yang tidak mudah ini, masa yang penuh ketidakpastian. Sambil melihat, bagaimana nanti arah AS dalam mengambil kebijakan suku bunga,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya