SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/Endang Mochtar)

Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/Endang Mochtar)

JAKARTA – Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas mengungkapkan bahwa ada lima titik rawan dalam keamanan dan kasus kejahatan terkait layanan perbankan elektronik di Indonesia.

Promosi Siasat BRI Hadapi Ketidakpastian Ekonomi dan Geopolitik Global

“Titik rawan yang pertama adalah lemahnya proses identifikasi dan validasi calon nasabah sehingga pelaku kejahatan dengan mudah dapat melakukan pemalsuan identitas,” kata Ronald dalam dalam Seminar Nasional Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) bertema “Pencegahan dan Penanganan Kejahatan pada Layanan Perbankan Elektronik di Jakarta”, Kamis.

Ronald menjelaskan bahwa kemajuan teknologi memungkinkan seorang calon nasabah tidak harus mendatangi sebuah bank untuk membuka rekening. Peluang tersebut membuat seorang pelaku kejahatan tidak memasukkan data pribadi yang benar ketika mengisi formulir pendaftaran.

“Kerawanan yang kedua adalah kerawanan fisik. Ini terjadi pada instrumen keuangan elektronik seperti kartu debit. Kartu debit ini karena tidak dilengkapi dengan pengaman chip menjadi lebih mudah dicuri personal indentification number-nya,” kata dia.

BI menurut Ronald sudah mewajibkan seluruh penerbit kartu debit untuk melengkapi produknya dengan pengaman chip paling lambat sampai akhir 2015. Dengan pengaman ini, Ronald berpendapat bahwa resiko kejahatan akan semakin kecil. “Titik kelemahan selanjutnya adalah aplikasi, aplikasi yang dikembangkan oleh perbankan harus mengikuti faedah secure programming dari tingkat hulu (front end) sampai dengan hilir (back end),” kata dia.

Ronald melanjutkan bahwa perilaku manusia adalah titik lemah berikutnya yang harus diantisipasi. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dari sisi perbankan sebagai penyedia layanan ataupun dari sisi nasabah yang cenderung tidak peduli menyebabkan kejahatan pembayaran elektronik menjadi mudah dilakukan.

“Kerawanan yang terakhir adalah lemahnya regulasi dan penegakan hukum,” kata dia. Untuk mengurangi risiko kejahatan pembayaran elektronik, Ronald menganjurkan agar bank-bank di Indonesia segera membuka informasi tentang kejahatan yang mereka alami bukan hanya kepada nasabah tetapi juga kepada publik.

“Sistem seperti ini sudah diterapkan di Jepang, dengan metode ini, terjadi pembelajaran secara terus menerus kepada masyarakat soal aspek kemanan transaksi elektronik dan bank lain dapat melakukan antisipasi jika mengalami kejadian serupa,” kata Ronald.

Namun, Ronald menyayangkan bahwa bank-bank di Indonesia seringkali sangat tertutup dalam pelaporan terjadinya kejahatan pembayaran elektronik. “Mereka beranggapan bahwa jika diinformasikan ke publik, masyarakat kemudian tidak percaya pada keamanan bank tersebut,” kata dia.

Kerugian yang dialami perbankan Indonesia akibat sistem pembayaran elektronik tahun 2012 sampai bulan Mei mencapai Rp2,37 milyar dari 1.009 kasus. Penerbit kartu kredit Mastercard menempatkan Indonesia di urutan dua terbawah tingkat kejahatan pembayaran elektronik di seluruh Asia, sementara Visa, penerbit lainnya, menempatkan Indonesia di urutan ketiga terbawah di kawasan Asia Tenggara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya