SOLOPOS.COM - Eva Kusuma Sundari (Dok/JIBI)

Solopos.com, JAKARTA – Politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Eva Kusuma Sundari menyatakan pornografi urusan publik, bukan personal Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Sepatutnya pembahasan soal tersangka MA [Muhammad Arsyad] tidak dikaburkan bahwa isunya personal, yaitu Presiden, tetapi sesungguhnya adalah isu publik, yakni komitmen kita untuk melindungi anak-anak dari bahaya pornografi,” katanya, Jumat (31/10/2014) pagi.

Promosi BRI Bantu Usaha Kue Kering di Sidoarjo Berkembang Kian Pesat saat Lebaran

Dalam penegakan hukum, kata anggota Komisi III (Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia) DPR periode 2009–2014 itu, sepatutnya fokus pembahasan pada tindakan pelaku, bukan status pelaku sebagai tukang satai. (Baca: Kasus Dilaporkan Sejak Juli)

“Pengunggahan content pornografi bukan tukang satai. Penyebaran pornografi, bukan bullying,” kata Eva yang pernah sebagai anggota Panitia Khusus (Pansus) Undang-Undang Pornografi dari Fraksi PDI Perjuangan periode 2004–2014.

Eva yang pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 menjadi anggota Tim Pemenangan Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menegaskan pihaknya melaporkan MA sebelum Jokowi menjadi presiden.

Menyinggung penghentian proses hukum terhadap tersangka MA, Eva menandaskan hal itu bukan wewenang Presiden untuk menghentikan proses hukum. (Baca:#SaveTukangSate Banjir Protes)

“Sebagai personal, Pak Jokowi akan mengampuni, tetapi kewajiban Presiden juga harus menunjukkan komitmen kewajiban negara untuk hadir memberikan perlindungan anak dan perempuan dari sexual crime,” kata dia.

Eva mengemukakan Jokowi tidak pernah mempersoalkan orang lain memfitnahnya, misalnya PKI, zionis, dan boneka. Demikian pula, ketika digambarkan sedang memijat Megawati Soekarnoputri, atau jadi bayi dalam gendongan Mega.

Akan tetapi, menurut dia, kasus MA adalah bukan hinaan kata-kata menyerang personal, melainkan pidana umum yang melanggar UU Pornografi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Oleh karena itu, lanjut Eva, pelaku harus mempertanggungjawabkan tindakannya, tetapi tidak perlu diancam hukuman badan dalam skala maksimal. (Baca: Ibu Pelaku Siap Sujud di Hadapan Jokowi)

“Saatnya sistem pengadilan kita mempraktikkan hukum progresif, termasuk hakim memfasilitasi penyelesaian nonhukum [kekeluargaan] demi kemanusiaan. Hukuman bisa berupa pekerjaan sosial di tahanan luar, termasuk pelaku yang mendapatkan bimbingan hukum,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya