SOLOPOS.COM - BAHAN BAKAR ALTERNATIF -- Sebuah bus TransJakarta mengisi bahan bakar gas (BBG) di Jakarta beberapa waktu lalu. Selain mempercepat konversi penggunaan BBG bagi kendaraan angkutan umum, pemerintah juga didesak menerapkan kebijakan penggunaan energi alternatif seperti tenaga surya. (JIBI/Bisnis Indonesia/Rahmatullah)

BAHAN BAKAR ALTERNATIF -- Sebuah bus TransJakarta mengisi bahan bakar gas (BBG) di Jakarta beberapa waktu lalu. Selain mempercepat konversi penggunaan BBG bagi kendaraan angkutan umum, pemerintah juga didesak menerapkan kebijakan penggunaan energi alternatif seperti tenaga surya. (JIBI/Bisnis Indonesia/Rahmatullah)

JAKARTA – Kebijakan penghematan energi yang diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai belum menyentuh substansi, karena masih berkutat pada penggunaan bahan bakar fosil yang jumlahnya semakin menipis.

Promosi Cerita Penjual Ayam Kampung di Pati Terbantu Kredit Cepat dari Agen BRILink

Ekonom Didik J Rachbini mengemukakan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi yang berlebihan terjadi karena tidak adanya energi alternatif yang murah. Akibatnya, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi membengkak yang selanjutnya membebani APBN.

Didik menilai larangan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan pemerintah tidak berpengaruh terhadap penghematan karena biaya transportasi pegawai selama ini ditanggung negara. Menurutnya, pemerintah semestinya melakukan terobosan diversifikasi energi melalui pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi, gas, angin atau matahari.

“Kita masih masuk dalam perangkap energi fosil, energi minyak. Penghematan bagus, tapi kan ekonomi tumbuh dan butuh energi. Problemnya hanya satu, konversi. Kita punya panas bumi, matahari. Kenapa tidak digunakan,” ujarnya. Menurutnya, sebagai langkah awal pemerintah perlu membuat pilot project kota energi yang menggunakan tenaga surya, misalnya di kawasan timur Indonesia yang memang kaya akan panas matahari.

Didik mengatakan hal itu tidak mustahil dilakukan, mengingat sebelumnya pemerintah melalui gagasan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla berhasil melaksanakan konversi dari minyak tanah ke elpiji. “Waktu itu, kompor gas dan tabungnya dikasih gratis dan langsung terkonversi. Sekarang kita punya banyak uang karena subsidi dikurangi. Kenapa tidak subsidinya dialokasikan untuk pengembangan energi matahari,” tuturnya.

Sementara, lanjutnya, program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) di sektor transportasi hanya dapat dilakukan jika ada keharusan bagi kendaraan umum menggunakan BBG, misalnya dengan tidak memberikan izin operasi jika kendaraan menggunakan non-BBG.

“Untuk kendaraan yang lama, harus diperbarui mesinnya supaya bisa menggunakan BBG. Tanpa BBG, tidak diteken (izinnya). Selesai,” ujar Didik yang juga Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (LP3E Kadin) ini.

Namun, imbuhnya, pemerintah harus menjamin ketersediaan gas di dalam negeri, mengingat selama ini dua per tiga produksi gas domestik diekspor sehingga pasokan untuk kebutuhan dalam negeri kurang. “Harusnya cukup, tapi sekarang kepentingan kan banyak. Karena gas kita diambil banyak ke luar negeri. Gasnya diekspor. Jadi, sekarang gasnya harus ditarik ke kita,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya